Foto ilustrasi : kabartani.com |
Lele merupakan salah satu komoditas perikanan
air tawar yang menjadi primadona di DIY. Kendati bisnis dan budidaya lele
mengalami pasang-surut, namun permintaan ikan jenis lele ini setiap tahunnya
rata-rata cukup tinggi.
Hal itu tidak mengherankan, sebab secara
kasat mata saja di DIY dari wilayah perkotaan hingga perdesaan, menjamur warung-warung
makan yang menyediakan menu spesial pecel lele, yang setiap harinya membutuhkan
pasokan ikan lele. Masyarakat sangat mudah menemukan warung-warung pecel lele
yang berdiri di pinggir jalan dengan tenda. Selain itu, rumah-rumah makan pun banyak
yang menyajikan menu berbahan baku ikan lele. Plt Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan DIY Dr Suwarman Partosuwiryo SPi mengakui, tingkat konsumsi ikan lele
di wilayah DIY masih mendominasi dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan jenis lain. Pada tahun
2017, kebutuhan konsumsi ikan lele di DIY mencapai 48.031 ton atau sekitar 43
persen dari total keseluruhan kebutuhan ikan bagi masyarakat DIY. Jumlah
tersebut dihitung dari kebutuhan konsumsi ikan masyarakat yang mencapai 111.700
ton atau setara dengan 31,31 kilogram perkapita pertahun.
Suwarman Partosuwiryo mengatakan, setiap
tahunnya tingkat konsumsi ikan lele selalu meningkat, hal tersebut juga diikuti
peningkatan hasil produksi dari peternak/pembudidaya lele di seluruh DIY.
Peningkatannya cukup tinggi pada dua tahun terakhir. Pada tahun 2016 kebutuhan ikan
lele sekitar 33.546 ton, sementara pada tahun 2017 meningkat menjadi 48.031 ton.
Dikatakan, dari sisi produksi juga mengalami kenaikan dikarenakan tingkat
budidaya serta pertumbuhan ikan lele sangat mudah dan cepat. Untuk mencukupi
kebutuhan ikan lele tersebut, hamper 90 persen dapat dipenuhi oleh produksi
ikan lele di DIY sendiri, sementara 10 persen kekurangannya para pedagang
biasanya mendatangkan ikan dari daerah lain seperti Magelang dan Boyolali.
Dosen Departemen Perikanan Universitas
Gadjah Mada (UGM) Ir. Sukardi, M.P. menyatakan, meski kebutuhan konsumsi ikan
lele di DIY cukup tinggi, mencapai 15 ton perhari, namun pemenuhannya masih
mengandalkan suplai dari luar daerah, terutama Boyolali dan Jawa Timur. Hal ini
disebabkan produksi ikan lele di DIY masih skala kecil, sehingga mempengaruhi pasokan.
Menurut Sukardi, para pengusaha
restoran ataupun warung kaki lima dengan menu ikan lele perlu kontinuitas dan
kepastian pasokan, sehingga mereka cenderung membeli dari suplier besar yang kebanyakan
dari luar DIY. Kebanyakan produksi ikan lele di DIY masih dilakukan oleh rumah
tangga secara sendiri-sendiri. Satu rumah biasanya hanya memiliki 2 kolam ukuran
50-100 meter persegi. Dengan masa pertumbuhan ikan lele selama 3 bulan hingga siap
panen, maka satu orang hanya bisa memanen sekali dalam 1,5 bulan. Berbeda dengan
produksi di Boyolali dan Jawa Timur, yang setiap orang bisa memiliki 30 kolam
bahkan lebih sehingga tiap pekan mereka bisa panen lele. Budidaya lele di luar
DIY juga sudah dilakukan secara kelompok, sehingga menghemat dalam pengadaan pakan
dan biaya distribusi.
Dengan kondisi seperti ini, tak heran
jika pembudidaya lele di DIY kesulitan memasarkan lele panenannya ke pasaran. Selain
harganya kalah bersaing, para pengepul atau pengusaha restoran lebih memilih
pasokan dari luar yang telah pasti dan kontinyu. Oleh sebab itu, menurut
Sukardi, pemerintah melalui dinas terkait perlu memberikan kemudahan (modal)
bagi pembudidaya lokal untuk mengembangkan usahanya (tambah kolam). Dengan
begitu mereka bisa menyuplai pasar secara kontinyu.
Ikan lele banyak digemari, selain
rasanya enak, kadungan protein dan Omega 3 juga tinggi sehingga bagus untuk
pertumbuhan otak khususnya bagi anak-anak. Secara keseluruhan konsumsi ikan
(laut/tawar) masyarakat DIY mencapai 24 kilogram perkapita pertahun. Untuk
konsumsi ikan air tawar, paling banyak ikan lele. Ketua Kelompok Pembudidaya
Ikan Kasihan Bantul WM Yunnus mengakui, saat ini pembudidaya ikan lele susah
dalam menjual hasil budidayanya. Tengkulak sering main-main dan menekan harga
lele konsumsi. Di pasar, harga lele mencapai Rp 23.000 perkilogram, padahal
tengkulak membeli dari pembudidaya paling hanya Rp 14.000 perkilogram.
Pemilik Mina Abadhi Farm Janten RT 06 Ngestiharjo
Kasihan Bantul itu mengungkapkan, tertekannya para pembudiaya ikan karena
mereka tidak mau bersatu. Pemain baru maunya menjual sendiri-sendiri kepada pembeli.
Akibatnya posisi tawar di depan tengkulak menjadi lemah. Dampaknya, banyak pembudidaya
baru yang kemudian rontok tidak mau melanjutkan usahanya. Karena itu WM Junus
mengajak para pembudidaya ikan untuk membentuk kelompok. Dalam kesatuan
kelompok, tengkulak tidak bisa main-main. Menurut perkiraannya, DIY membutuhkan
sekitar 12 ton ikan lele setiap harinya. Sedangkan produksi lokal DIY hanya mampu
menyediakan 2 ton setiap hari. Untuk kebutuhan itu kemudian mendatangkan lele
dari luar daerah seperti Tulungagung, Boyolali dan sebagainya. Karena itu,
sebetulnya DIY butuh pembudidaya baru untuk memenuhi kebutuhan lele yang cukup
tinggi tersebut.
Terkait hal itu pula, WM Junus bersama
beberapa pihak akan menggelar Seminar Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketahanan Pangan
dalam Budidaya Ikan yang rencananya diadakan di Aula PT. BP. Kedaulatan
Rakyat pada 27 Januari 2018. Untuk mengupas tuntas permasalahan seputar budidaya
ikan termasuk lele, para narasumber berkompeten akan dihadirkan, seperti Dr.
Suwarman Partosuwiryo, S.Pi. yang akan bicara tentang regulasi, dari Departemen
Perikanan UGM Dr. Latif Sahubawa S.Pi. akan mengupas pascapanen, demikian pula
Ir. Endang Suprapti dari Dinas Kelautan dan Perikanan DIY. Kemudian PT. Central
Proteina Prima Wijaya Setiyawan akan bicara tentang pakan ikan, dan WM Junus
sendiri akan berbagi pengalaman mengenai budidaya lele dan nila.
Sumber : Harian Kedaulatan Rakyat
0 comments:
Posting Komentar