Ikan merupakan sumber bahan
pangan yang bermutu tinggi, terutama karena banyak mengandung protein yang
sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Namun demikian, ikan merupakan bahan
pangan yang mudah mengalami kerusakan atau kemunduran mutu (perishable food)
terutama pada daerah tropis. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengatasi hal tersebut adalah dengan pendinginan agar suhu ikan tetap rendah.
Kondisi suhu yang rendah mengakibatkan pertumbuhan bakteri pembusuk dan
proses-proses biokimia yang berlangsung menjadi lebih lambat. Bahan yang sering
digunakan untuk mempertahankan suhu ikan tetap rendah adalah es, tetapi daya
tahan es yang terbatas dan adanya tambahan biaya untuk pembelian es maka
penggunaan es sering diabaikan. Oleh karena itu penyalahgunaan bahan kimia
berbahaya sebagai pengawet ikan masih saja terjadi hingga saat ini.
Salah satu bahan kimia yang
sering digunakan sebagai pengawet ikan adalah formalin (larutan formaldehid
dalam air dengan kadar 10-40%). Penggunaan formalin dimaksudkan untuk
memperpanjang umur simpan, karena senyawa ini bersifat anti mikroba yang efektif
dalam membunuh bakteri. Formalin merupakan bahan kimia berbahaya yang dilarang penggunaannya
untuk bahan tambahan makanan (MenKes No. 033 Tahun 2012) karena dapat
menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker)
dan mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel/jaringan) serta kematian.
Hingga saat ini metode
untuk mendeteksi kandungan formalin pada bahan makanan telah banyak
dikembangkan baik secara kualitatif maupun kuantitatif, diantaranya menggunakan
spektrofotometer ultra violet (UV), metode Nash, Gas Chromatography dan
metode Schiff. Beberapa metode tersebut
cukup sensitive tetapi memerlukan waktu analisis yang cukup lama dan tidak
ekonomis karena biaya pengujian yang relatif mahal. Sementara itu, pengujian
formalin dengan menggunakan tes kit masih memiliki beberapa kelemahan. Hasil
pengujian menggunakan tes kit berupa perubahan warna pada larutan uji jika
sampel mengandung formalin. Metode ini meskipun relative cepat tetapi harus
merusak bahan yang diuji dan adanya kesulitan dalam pendeteksian warna yang
ditimbulkan khususnya pada konsentrasi rendah. Beberapa metode tersebut pada
prakteknya sulit dilakukan sehingga perlu pengembangan metode baru.
LRMPHP telah melakukan
penelitian pendeteksian formalin pada daging ikan tuna (Thunnus sp.) menggunakan sensor MQ 3 dan MQ 137. Bahan utama kedua
sensor ini adalah SnO2 yang memiliki konduktifitas rendah pada udara bersih.
Konduktifitas sensor akan meningkat seiring dengan kenaikan konsentrasi gas.
Diagram modul sensor gas yang digunakan untuk mendeteksi kadar formalin
ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram modul sensor gas |
Pengujian formalin dilakukan
pada daging fillet ikan tuna seberat 50 gr yang sebelumnya direndam selama 10
menit menggunakan larutan formalin dengan kosentrasi 0,025%, 0,05%, 0,075% dan
0,1%. Analisis data statistik dilakukan menggunakan Minitab dan data diolah
menggunakan analisis korelasi sederhana Pearson dengan tingkat signifikan
p=0,05. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai pembacaan sensor MQ 3 dan MQ
137 mengalami kenaikan seiring bertambahnya konsentrasi larutan formalin yang
digunakan untuk merendam daging ikan tuna. Berdasarkan uji korelasi sederhana disimpulkan
bahwa sensor MQ 3 dan MQ 137 dapat digunakan untuk mendeteksi kadar formalin
pada daging ikan tuna.
0 comments:
Posting Komentar