Sejumlah kelompok pembudidaya memodifikasi mesin pembuat pakan ikan bantuan dari pemerintah agar bisa dipakai lebih optimal. Program bantuan mesin tersebut bertujuan mendukung gerakan pakan mandiri untuk menghasilkan produk pakan ikan yang lebih terjangkau.
Hangabdi Wiyono, Ketua Kelompok Pembudidaya Mina Mulya di Dusun Babatan, Kelurahan Wedo Martani, Kecamatan Ngemplak, Sleman, DI Yogyakarta, mengemukakan, modifikasi dilakukan sejak kelompok menerima bantuan mesin pakan tahun 2015. Saat bantuan mesin pakan diterima, kinerja mesin tergolong lamban dan banyak masalah. Awalnya, bantuan mesin pakan penghasil pelet tenggelam tersebut dijanjikan memiliki kapasitas 500 kg per jam, tetapi hanya terealisasi 70 kg per jam. Pihaknya melakukan modifikasi penggantian beberapa komponen dengan biaya swadaya kelompok sekitar Rp 20 juta. ”Kami berupaya mencari cara agar mesin bisa bekerja lebih baik. Kami bekerja lebih baik untuk bisa mendorong produksi,” kata Wiyono, yang juga Ketua Asosiasi Produsen Pakan Mandiri Yogyakarta, Selasa (23/5), di Sleman, DI Yogyakarta.
Dengan uji coba dan modifikasi beberapa kali, produktivitas mesin pakan kini bisa mencapai 250 kg per jam. Proses produksi pelet memakan waktu rata-rata 3 hari. Wiyono menambahkan, dengan pola pakan mandiri, harga pakan ikan untuk budidaya terjaga stabil dalam kurun dua tahun terakhir. Sebelumnya, harga pakan tiap tahun naik Rp 300 per zak. Saat ini, harga pelet tenggelam hasil produksi pakan mandiri sebesar Rp 180.000 per zak ukuran 30 kg dengan kandungan protein 25 persen. Namun, di tengah harga pakan rakyat yang terjaga stabil, mereka juga harus bersaing dengan harga pelet apung produksi pabrikan berkisar Rp 195.000 per zak ukuran 30 kg dengan kandungan protein 20 persen.
Selama 2014-2016, jumlah bantuan mesin pakan ikan ke Provinsi DI Yogyakarta mencapai 14 unit. Dari jumlah tersebut, bantuan ke Kabupaten Sleman sebanyak 9 unit. Terdapat satu mesin pakan yang belum bisa beroperasi karena modifikasi gagal. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan DI Yogyakarta Sigit Sapto Raharjo mengemukakan, potensi usaha penghasil pakan dan budidaya ikan di Yogyakarta masih terbuka lebar. Kebutuhan pakan di wilayah itu mencapai sekitar 46.000 ton per tahun. Sebagian kebutuhan dipasok dari luar Yogyakarta. Sigit menambahkan, modifikasi bahan baku pakan dengan menggunakan komponen lokal merupakan kreasi pembudidaya mencari formula yang pas untuk menghasilkan pakan. Modifikasi bahan baku antara lain menggunakan sampah tumbuhan, seperti daun talas, bungkil kedelai, dan daun pepaya. Namun, tidak semua bahan baku dapat disubstitusi. Kebutuhan tepung ikan sejauh ini masih mengandalkan pasokan dari pabrikan dan produk impor. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi pakan mandiri dalam dua tahun terakhir meningkat pesat sebanyak 300 persen, yakni dari 16.800 ton tahun 2015 menjadi 62.160 ton pada 2016.
Kebutuhan konsumsi ikan hasil budidaya di Yogyakarta terus meningkat, yakni mencapai 108.000 ton. Jumlah tersebut belum bisa terpenuhi oleh produksi budidaya ikan di Yogyakarta yang jumlahnya hanya 76.780 ton pada 2016. Komoditas utama yang dikonsumsi antara lain lele, nila, gurami, bawal, dan udang vaname. ”Kami masih mengambil ikan yang dipasok oleh wilayah lain,” kata Sigit.
Sumber : Harian Kompas, 24 Mei 2017