PELATIHAN

LRMPHP telah banyak melakukan pelatihan mekanisasi perikanan di stakeholder diantaranya yaitu Kelompok Pengolah dan Pemasar (POKLAHSAR), Kelompok Pembudidaya Ikan, Pemerintah Daerah/Dinas Terkait, Sekolah Tinggi/ Universitas Terkait, Swasta yang memerlukan kegiatan CSR, Masyarakat umum, dan Sekolah Menengah/SMK

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan

LRMPHP sebagai UPT Badan Riset dan SDM KP melaksanakan riset mekanisasi pengolahan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 81/2020

Tugas Pokok dan Fungsi

Melakukan tugas penelitian dan pengembangan strategis bidang mekanisasi proses hasil perikanan di bidang uji coba dan peningkatan skala teknologi pengolahan, serta rancang bangun alat dan mesin untuk peningkatan efisiensi penanganan dan pengolahan hasil perikanan

Kerjasama

Bahu membahu untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan dengan berlandaskan Ekonomi Biru

Sumber Daya Manusia

LRMPHP saat ini didukung oleh Sumber Daya Manusia sebanyak 20 orang dengan latar belakang sains dan engineering.

Kamis, 21 November 2019

PENGUJIAN KUALITAS FILLET IKAN BERBASIS PENGOLAHAN CITRA DIGITAL


Fillet ikan sebagai salah satu produk andalan perikanan dihasilkan dari ikan yang telah dipisahkan atau dipotong dengan arah memanjang pada salah satu sisi tubuh ikan yang sejajar dengan tulang belakang ikan. Sebagai salah satu produk ekspor andalan, mutu yang konsisten dan terjaga sangat diisyaratkan oleh sejumlah negara pengimpor. Salah satu masalah utama pada fillet ikan yaitu keberadaan duri atau tulang yang tertinggal di dalamnya. 

Sejumlah metode deteksi duri ikan dalam fillet telah dikembangkan oleh sejumlah peneliti sebelumnya berbasis sinar Ultra Violet (UV) dan X Ray namun masih tingginya biaya operasional menjadi kendala dalam implementasi lanjutan.  Untuk mengatasi kendala tersebut sejumlah peneliti di King Mongkut’s Institute of Technology Ladkrabang, Bangkok mengajukan sistem penilaian mutu fillet ikan berbiaya rendah menggunakan image processing.Secara umum sistem yang dibangun mencakup conveyer belt, lampu UV, Kamera CCD, sirkuit elektronik, kartu grafis interface, dan komputer. Komputer digunakan untuk sistem kontrol dan analisis citra. Lampu UV digunakan pada panjang gelombang 340 nm untuk memancarkan sinar ultraviolet pada sampel fillet ikan yang dinilai kualitasnya. Kamera Webcam digunakan untuk menangkap citra fillet ikan.

Penelitian pendahuluan yang dipublikasikan pada International Conference on Computer, Communications and Information Technology (CCIT 2014) tersebut mengungkapkan  proses evaluasi yang dikembangkan tersebut sangat tergantung pada dua algoritma penting image processing yaitu proses segmentasi dan perhitungan area tulang ikan. Algoritma segmentasi citra ditunjukkan pada Gambar 1, sementara Gambar 2 menampilkan algoritma kalkulasi area tulang ikan.
Gambar 1. Algoritma segmentasi citra (Rerkratn dan Kaewpoonsuk, 2014)
 
Gambar 2. Algoritma kalkulasi area tulang ikan (Rerkratn dan Kaewpoonsuk, 2014)
 Berdasarkan hasil kajian menunjukkan bahwa penggunaan teknik tresholding (pengambang batasan) mampu membedakan secara jelas antara fillet ikan, daging ikan saja, dan tulang atau duri ikan saja. Luas area tulang ikan yang berhasil dideteksi berkisar antara 3,64% hingga 20,23%. Kajian tersebut menunjukkan kemampuan sistem evaluasi yang dikembangkan menunjukkan hasil yang memuaskan untuk mendeteksi sekaligus menghitung jumlah tulang atau duri pada fillet ikan.


Penulis : I Made Susi Erawan, Peneliti LRMPHP

MEMBANGUN SISTEM CERDAS PEMBERIAN PAKAN IKAN BERBASIS IMAGE PROCESSING


Budidaya ikan menjadi bisnis yang menjanjikan pada dekade belakang. Kemampuannya untuk menciptakan sumber ekonomi baru sekaligus menyediakan sumber pangan bagi dunia menjadi salah satu alasan bidang tersebut menjadi primadona. Salah satu kunci sukses dalam budidaya ikan adalah pemberian pakan yang efektif. Sejumlah faktor penentu dalam proses pemberian pakan efektif adalah memperhatikan karakteristik spesies ikan terutama umur dan ukuran ikan serta perbedaan perilaku ikan selama proses tersebut.

Untuk menciptakan sistem pemberian pakan yang efektif sejumlah ilmuwan di departemen teknik elektro Universitas Liverpool, Inggris mengembangkan sebuah sistem pemberian pakan otomatis berbasis image processing. Sistem cerdas yang dikembangkan mampu menentukan perilaku sensori ikan berdasarkan rekaman tingkah laku makan ikan secara citra digital yang selanjutnya berdasarkan rekaman digital tersebut dapat menentukan tingkat kebutuhan makan ikan. Data tersebut kemudian digunakan untuk pemberian pakan ikan. Sistem yang dikembangkan juga mampu memecahkan masalah distribusi pakan yang efektif untuk seluruh ikan yang seringkali dijumpai pada sistem konvensional dimana ikan berukuran kecil cenderung tertinggal pertumbuhannya karena kompetisi memperebutkan makanan yang tidak seimbang.

Sistem canggih tersebut memiliki tiga komponen utama yaitu mekanisme pemberian pakan berupa tabung silinder horizontal dilengkapi dispenser otomatis dan pengatur celah pada satu sisi, algoritma image processing untuk menghitung total ikan dalam kolam budidaya dilanjutkan dengan pengukuran panjang dan bobot ikan serta pengukuran parameter pertumbuhan yaitu Feeding Effiency (Efisiensi Pakan) dan Specific growth Ratio (Rasio Pertumbuhan Spesifik). Secara keseluruhan diagram blok sistem yang diajukan digambarkan sebagai berikut:

Sumber gambar: DOI: 10.5121/csit.2018.81506




Penulis :  I Made Susi Erawan, Peneliti LRMPHP





Rabu, 20 November 2019

DESAIN EVAPORATOR PADA PALKA BERPENDINGIN


Salah satu cara teknologi penanganan ikan di atas kapal adalah menggunakan RSW yaitu dengan mendinginkan air laut yang akan digunakan untuk media pendinginan ikan. Metode ini dapat mengurangi resiko kerusakan fisik ikan dan proses pendinginan dapat berlangsung dengan cepat. Referegereted sea water (RSW) dapat menggunakan sistem pendingin kompresi uap secara konvensional yang terdiri dari komponen utama kondensor, kompresor, refrigerant R-22, katup ekspansi dan aksesories cooling unit lainya.

Salah satu bagian penting dalam sistem ini adalah desain evaporator yang memungkinkan penggunaan/aplikasi di atas kapal dengan mudah. Salah satunya telah dikembangkan oleh Widianto dkk. yang dimuat dalam Jurnal Pasca Panen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan tahun 2018. Evaporator digunakan tipe bare tube yang dipasang mengelilingi dinding palkah. Evaporator terdiri dari susunan pipa dengan bahan tembaga yang berfungsi untuk mendinginkan langsung air laut di dalam palkah seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Evaporator tipe ini memudahkan dalam perawatan dan dapat menyerap panas udara dalam palka secara langsung. Screen ditambahkan untuk melindungi evaporator dari kontak langsung dengan produk. Screen terbuat dari fiber berpori dengan diameter pori sebesar 15 mm. Air lautdalam palka didinginkan oleh pipa-pipa evaporator sampai suhu air laut mencapai -1 0C. Desain evaporator menggunakan pipa tembaga dengan tebal 1,6 mm, panjang 84 meter dan diameter 5/8 inch. Salah satu hasil pengujian suhu evaporator pada palka ditunjukkan pada Gambar 2. 
Gambar 1. Desain palka dan evaporator

Pada jam ke-8 suhu pipa evaporator telah mencapai -28oC, sedangkan suhu air -0,8oC. Suhu air yang terukur adalah suhu air pada posisi tengah, sehingga proses penyerapan kalor air secara konveksi membutuhkan waktu cukup lama. Perpindahan panas dari air laut menuju refrigerant melalui pipa evaporator sangat ditentukan oleh besarnya  koefisien perpindahan total serta luas bidang evaporator yang bersentuhan dengan air laut.
 
Gambar 2. Suhu evaporator pada pengujian

Penulis : Tri Nugroho Widianto, Peneliti LRMPHP


IKAN ASAP TANPA ASAP


Pembuatan ikan asap secara tradisional dilakukan dengan mengasapi ikan secara langsung dari pembakaran kayu atau tempurung kelapa. Metode ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kualitas produk ikan kurang konsisten serta adanya deposit tar dan senyawa-senyawa yang berbahaya bagi kesehatan.

Metode lain untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satunya dengan memanfaatkan asap cair, sehingga pemberian aroma asap pada makanan akan lebih praktis, yaitu dengan pencelupan produk ke dalam asap cair yang diikuti dengan pengeringan seperti disampaikan oleh Darmadji  yang dimuat dalam jurnal Agritech pada tahun 2002. Asap cair dihasilkan dari pirolisis kayu atau tempurung kelapa yang merupakan hasil kondensasi asap menjadi bentuk cair.

 Asap cair  komponen  senyawa utama seperti fenol, karbonil, asam, furan, alkohol, ester, keton, hidrokarbon alifatik, dan poliaromatik hidrokarbon. Senyawa fenol berperan sebagai pembentuk aroma dan rasa asap, senyawa karbonil sebagai pembentuk warna kuning kecoklatan, sedangkan senyawa asam berperan sebagai pengawet produk ikan.

Pembuatan ikan asap menggunakan asap cair diantaranya telah dilakukan oleh Widianto yang dimuat dalam Prosiding Seminar Nasional Tahunan Hasil Penelitaian Perikanan dan Kelautan VI.  Asap cair yang diperoleh dari hasil pirolisis temputung kelapa pada suhu 400 0 C kemudian diendapkan selama semalam, setelah itu disaring menggunakan kertas Watman 42 dan diredestilasi pada suhu 1250 C. Ikan patin (Pangasiun sutchi) dibersihkan kemudian dibuang isi perut dan kotoranya, setelah itu dibentuk butterfly. Ikan patin yang digunakan mempunyai berat  300-500 gram/ekor. Ikan patin kemudian direndam dalam larutan asap cair selama 20, 30 dan 40 menit dengan konsentrasi asap cair sebesar 1, 2 dan 3 % dengan penambahan garam garam 2,5 %. Setelah perendaman ikan patin ditiriskan selama 30 menit kemudian dipanggang di dalam oven pada suhu 800C selama 8 jam. Selama pemanggangan ikan patin dibalik setiap 30 menit. Hasil pembuatan ikan patin asap menggunakan asap cair ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan patin asap dengan asap cair

          
Salah satu penilaian kualitas ikan asap yang dihasilkan adalah dengan pengujian nilai hedonik. Hasil pengujian hedonik dilakukan dengan memberikan nilai kesukaan secara keseluruhan terhadap produk tanpa memperhatikan parameter sensori seperti kenampakan, rasa, bau, kapang, konsistensi dan lendir. Hasil uji organoleptik ikan asap yang diolah dengan menggunakan asap cair tempurung kelapa disajikan dalam Gambar 1. Dalam Gambar 2 menunjukkan bahwa panelis memberikan nilai hedonik tertinggi pada ikan asap yang direndam dalam asap cair 2% selama 40 menit. Hasil analisa Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi dan lama perendaman menghasilkan perbedaan yang nyata tehadap nilai hedonik produk (P≤0.05). Hasil analisa lanjut Duncan terhadap nilai hedonik menunjukkan bahwa ikan asap yang direndam dalam asap cair konsentrasi  2% selama 40 menit mempunyai nilai tertinggi sebesar 6.38 (skala 1-9) dimana nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan perendaman dengan asap cair konsentrasi 2% selama 20 menit (nilai 6.32). Nilai tersebut berkisar dari ”agak suka” sampai ”suka”.

Keterangan/Note  :      2%  = perendaman ikan dalam larutan asap cair 2 %
                                    3%  = perendaman ikan dalam larutan asap cair 3%
                                    4%  = perendaman ikan dalam larutan asap cair 4 % 
                                    T20 = perendaman ikan dalam larutan asap selama 20 menit
                                    T30 = perendaman ikan dalam larutan asap selama 30 menit
                                    T40 = perendaman ikan dalam larutan asap selama 40 menit      

Gambar 2. Pengaruh konsentrasi dan lama perendaman dalam asap cair   terhadap nilai  hedonik ikan patin  asap 

Pirolisis pada suhu 4000C menghasilkan asap cair dengan kandungan fenol paling tinggi (sebesar 4,01%) dan tidak mengandung senyawa benzo(a)pyrene. Senyawa kimia yang terdapat dalam asap cair adalah golongan fenol, asam, eter, ester, furan dan polihidroksi. Asap cair hasil pirolisis tempurung kelapa pada suhu 4000C digunakan untuk pembuatan ikan patin asap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perendaman fillet ikan patin dalam larutan asap cair dengan konsentrasi 2% selama 20 menit menghasilkan ikan patin asap yang paling disukai panelis.

Penulis : Tri Nugroho Widianto, Peneliti LRMPHP

REFRIGERATED SEA WATER PADA KAPAL NELAYAN

RSW pada kapal nelayan
Sebagian besar kapal penangkap ikan ukuran kecil (sampai 15 GT) yang terdapat di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng dan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap masih menggunakan es sebagai media pendingin. Hal ini mengakibatkan terjadinya kemunduran mutu ikan hasil tangkapan nelayan, terutama ikan-ikan yang diletakkan pada bagian bawah Palka. Hal ini disampaikan oleh Widianto dalam Prosiding Seminar Nasional Perikanan tahun 2016. Kerusakan terjadi akibat gesekan es dengan permukaan ikan serta tekanan es selama penyimpanan di dalam palka. Selain itu, di beberapa TPI ketersediaan es yang dengan kualitas baik masih terbatas serta harga yang relatif mahal. Penggunaan es pada kapal kecil juga dapat menambah berat kapal sehingga akan miningkatkan konsumsi bahan bakar.Tuna loin yang diolah di atas kapal dan didaratkan di Ambon mempunyai rata rata suhu pusat dengan kisaran 10,56 - 16,53 °C jauh di atas suhu 4,4 °C untuk tuna sashimi. Es yang digunakan juga masih mengandung jumlah bakteri yang cukup tinggi melebihi persyaratan jumlah bakteri untuk es balok untuk penanganan ikan yaitu 102 koloni/g seperti dilaporkan oleh Suryaningrum, Ikasari & Octaviani pada Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan tahun  2017.

Salah satu alternatif upaya yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah penerapan sistem refrigerasi di atas kapal untuk memperpanjang daya simpan ikan hasil tangkapan nelayan. Penerapan refrigerasi untuk penyimpanan ikan umumnya dengan chilling (pendinginan pada suhu 0 °C) dan freezing (pembekuan pada suhu sekitar -20 °C). Pembekuan digunakan pada penyimpanan ikan dalam jangka waktu yang lama dan memerlukan sistem refrigerasi dan energi yang cukup besar sehingga untuk aplikasi pada kapal kecil dengan jangka waktu penangkapan sekitar 5-7 hari dinilai kurang efektif. Selain itu, pembekuan yang baik umumya menggunakan sistem pembekuan cepat agar butiran es yang terbentuk di dalam tubuh ikan lembut sehingga mampu mempertahankan mutu ikan segar. Proses pembekuan cepat membutuhkan teknologi yang cukup tinggi serta kebutuhan energi yang besar. 

Teknologi yang dinilai tepat untuk penanganan ikan di atas kapal dalam jangka waktu yang relatif tidak lama adalah dengan pendinginan pada suhu sekitar 0 °C. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan RSW yaitu dengan mendinginkan air laut yang akan digunakan untuk media pendinginan ikan. Metode ini dapat mengurangi resiko kerusakan fisik ikan dan proses pendinginan dapat berlangsung dengan cepat. Selain itu kelembapan permukaan ikan juga tetap terjaga sehingga mutu dan kenampakan ikan tetap baik. Dengan cara seperti ini seluruh permukaan ikan dapat berkontak langsung dengan media pendingin air es, termasuk rongga perut dan rongga ingsang. Sehingga cara ini efisien untuk menurunkan suhu tengah tubuh ikan dalam waktu cepat. Hal tersebut diungkap oleh Wibowo dkk. yang dimuat dalam buku  Penanganan Ikan Tuna Segar untuk Ekspor ke Uni Eropa tahun 2007. Penerapan RSW pada kapal tuna longline di PPS Muara Baru terbukti dapat mengurangi produk ikan tuna yang tidak memenuhi standart ekspor dari 50,4 % menjadi 21,5 %. Penerapan RSW tersebut dapat meningkatkan kualitas hasil tangkapan tuna.


Penulis : Tri Nugroho Widianto, Peneliti LRMPHP

DESAIN BILAH PISAU BOWL CUTTER UNTUK PEMBUATAN NUGGET IKAN

Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah dan mengoptimalkan pemanfaatan produksi perikanan tangkap adalah pengembangan produk bernilai tambah  diantaranya bakso, otak-otak, sosis dan nugget ikan. Selain meningkatkan nilai tambah, produk olahan ikan tersebut sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang menuntut makanan cepat saji serta mengandung cukup gizi. 

Proses pembuatan olahan ikan membutuhkan peralatan diantaranya mesin pengadon yang biasa digunakan adalah bowl cutter. Salah satu komponen penting dalam alat tersebut adalah mata pisau. Bentuk dan jumlah bilah pisau yang bervariasi tentunya akan menghasilkan mutu adonan dan konsumsi energi yang beragam. Hal yang utama dalam penggunaan bowl cutter untuk pembuatan nugget skala UKM adalah biaya operasional yang rendah sehingga akan memberikan manfaat yang lebih besar. Sehingga desain dan jumlah bilah pisau pada bowl cutter untuk pembuatan nugget ikan skala UKM perlu dipelajari agar diperoleh biaya operasional yang rendah dan menghasilkan nugget sesuai standar. Salah satu desain mata pisau bowl cutter telah dilaporkan oleh Widianto tang termuat dalam jurnal pasca panen dan bioteknologi kelautan dan perikanan pada tahun 2016. 

Desain bilah pisau dibuat dalam tiga bentuk yaitu tiga buah bilah pisau lurus, tiga buah bilah pisau melengkung dan enam buah bilah pisau melengkung. Ilustrasi desain bilah pisau melengkung ditunjukkan pada Gambar 1, sedangkan desain bilah pisau lurus ditunjukkan pada Gambar 2. Desain bilah pisau melengkung mempunyai bentuk ± 3/8 lingkaran dengan panjang 80 mm dari sisi luar dudukan. Lebar bilah pisau sebesar 22 mm dengan tebal 3 mm. Radius putar bilah pisau dari pusat poros sebesar 130 mm. Kelengkungan bilah pisau mempunyai radius 50 mm dengan sisi tajamnya terletak pada lengkung bagian luar dengan sudut ketajaman sekitar 120. Desain bilah pisau lurus (lihat Gambar 3) mempunyai spesifikasi dan dimensi sama dengan desain pisau melengkung kecuali pada radius kelengkungan sebesar 75 mm serta ujung bilah pisau dibengkokkan dengan sudut sekitar 300 dengan jarak yang dibengkok sekitar 25 mm dari ujung bilah pisau. Material bilah pisau terbuat dari plat SS 304, sedangkan dudukan bilah pisau menggunakan bahan teflon. Teflon digunakan karena mudah dibentuk, keras dan aman untuk makanan. Bilah pisau dipasang pada dudukan dengan menambahkan pin pengikat. Dudukan dibuat dengan bentuk cincin dengan diameter luar 158 mm dan diameter lubang bagian dalam 37 mm dengan tebal 10 mm. Lubang bagian dalam digunakan untuk memasukkan poros penggerak. Tiap bilah pisau diletakkan pada dudukan masing-masing secara terpisah. Tiap dudukan terdapat 3 buah lubang kecil dengan diameter 9 mm yang digunakan untuk baut pengikat, sehingga rangkaian bilah pisau dapat terikat sempurna dalam poros. 

Gambar 1. Rancangan bilah pisau melengkung


Gambar 2. Rancangan bilah pisau lurus
Susunan 3 dan 6 buah bilah pisau pada rangkain dudukan diilustrasi pada Gambar 3. Desain bilah pisau yang dihasilkan kemudian dirangkaikan pada bowl cutter seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
(a)
(b)
Gambar 3. Set 6 buah bilah pisau (a) dan 3 buah bilah pisau (b)

Gambar 4. Bowl cutter
Salah satu uji kinerja bilah pisau pada bowl cutter dilakukan untuk mengetahui desain bilah pisau terbaik pada variasi lama pengadonan selama 8, 12 dan 16 menit. Salah satu parameter pengujian adalah biaya operasional selama penggolahan nugget dan biaya produksi yang dibutuhkan yang ditunjukkan pada Gambar 5. 

Gambar 5. Biaya operasional pembuatan 100 kg nugget pada berbagai perlakuan 
        
Hasil penelitian menunjukkan bahwa desain bilah pisau terbaik adalah 3 buah bilah pisau melengkung dengan lama pengadonan 8 menit. Nugget yang dihasilkan pada kondisi tersebut mempunyai kadar air 54,2 %, tektur sebesar 12,6 N, susut masak 16,7 %, WHC 2,9 %, nilai organoleptik lebih dari 7 dan biaya operasional sebesar Rp. 2.700/100 kg adonan.


Penulis : Tri Nugroho Widianto, Peneliti LRMPHP