PELATIHAN

LRMPHP telah banyak melakukan pelatihan mekanisasi perikanan di stakeholder diantaranya yaitu Kelompok Pengolah dan Pemasar (POKLAHSAR), Kelompok Pembudidaya Ikan, Pemerintah Daerah/Dinas Terkait, Sekolah Tinggi/ Universitas Terkait, Swasta yang memerlukan kegiatan CSR, Masyarakat umum, dan Sekolah Menengah/SMK

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan

LRMPHP sebagai UPT Badan Riset dan SDM KP melaksanakan riset mekanisasi pengolahan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 81/2020

Tugas Pokok dan Fungsi

Melakukan tugas penelitian dan pengembangan strategis bidang mekanisasi proses hasil perikanan di bidang uji coba dan peningkatan skala teknologi pengolahan, serta rancang bangun alat dan mesin untuk peningkatan efisiensi penanganan dan pengolahan hasil perikanan

Kerjasama

Bahu membahu untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan dengan berlandaskan Ekonomi Biru

Sumber Daya Manusia

LRMPHP saat ini didukung oleh Sumber Daya Manusia sebanyak 20 orang dengan latar belakang sains dan engineering.

Senin, 09 Desember 2019

Efektivitas Pemisahan Daging Ikan Lele Menggunakan Meat Bone Separator Komersial


Lele merupakan jenis ikan air tawar yang berasal dari Afrika. Jenis yang sudah dibudidayakan secara komersial di Indonesia yaitu lele dumbo (Clarias gariepinus) dan lele local (Clarias batrachus). Menurut Direktorat Produksi dan Usaha Budidaya dalam Buku Saku Budidaya Ikan Lele Sistem Bioflok Tahun 2017, budidaya lele mengalami perkembangan yang cukup pesat,  disebabkan oleh beberapa faktor yaitu budidaya lele dapat menggunakan lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar yang tinggi, teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, memiliki pangsa pasar yang jelas, modal usaha yang dibutuhkan tidak terlalu besar, dan waktu usaha yang dibutuhkan tidak terlalu lama. Masyarakat cenderung mengkonsumsi ikan lele dalam bentuk segar, dengan mengolah lele menjadi fillet, daging lumat atau surimi diharapkan dapat meningkatkan nilai tambahnya.
Daging lumat lele diperoleh dengan memisahkan daging dengan tulang dan duri ikan lele. Salah satu peralatan yang dapat digunakan dalam proses pemisahan tersebut adalah meat bone separator (alat pemisah daging).  Secara umum alat pemisah daging ikan telah diproduksi dan beredar di pasaran. Selain itu mesin pemisah daging komersial memiliki kapasitas dan energi yang berbeda pula. Dalam penelitian, alat pemisah daging komersial yang digunakan berukuran 1525 mm x 980 mm x 1192 mm, dan spesifikasi mesin 3700 Watt (Gambar 1).

Gambar 1. Alat pemisah daging komersial

Dalam proses pengujian kinerja alat pemisah daging tersebut, lele diberi perlakuan pendahuluan terlebih dahulu dengan cara dibelah dua dalam bentuk butterfly dan bentuk sayat samping. Lele yang sudah dipreparasi selanjutnya dimasukkan ke dalam alat pemisah daging dengan cara memasukkan lele mulai dari bagian ekor, sedangkan untuk lele yang dibelah, arah daging menghadap ke bagian drum berpori. Posisi saat lele dimasukkan ke alat pemisah daging disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Posisi saat lele dimasukkan ke alat pemisah daging
Hasil uji kinerja alat pemisah daging komersial menunjukkan bahwa alat lebih efektif untuk pemisahkan daging ikan dalam bentuk  butterfly dibanding disayat. Rendemen daging lumat lele dengan perlakuan belah/ butterfly lebih besar (39%) dibandingkan rendemen daging lumat lele dengan perlakuan sayat (37,83%). Hal ini disebabkan bagian permukaan daging lele dan kulit sebagai pembungkus daging lele telah terbuka, sehingga proses pemasukan daging saat penekanan oleh silinder berpori dan conveyor belt menjadi lebih mudah dibandingkan lele yang disayat.

Selain itu, waktu pengolahan daging lumat lele yang diberi perlakuan belah/ butterfly lebih cepat dibandingkan waktu pengolahan daging lumat lele yang diberi perlakuan sayat samping untuk jumlah bahan baku yang sama. Dengan demikian kapasitas pengolahan daging lumat lele yang diberi perlakuan belah/ butterfly (90,3 kg/jam) lebih besar dibandingkan kapasitas pengolahan daging lumat lele yang diberi perlakuan sayat samping (55,1 kg/jam). Hal ini disebabkan karena ukuran ketebalan ikan pada perlakuan belah lebih tipis dibandingkan perlakuan sayat, sehingga lebih mudah masuk ke dalam alat pemisah daging.

Penulis : Putri Wullandari, Peneliti LRMPHP

Minggu, 08 Desember 2019

Kunjungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Cirebon di LRMPHP

Kunjungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Cirebon di LRMPHP

LRMPHP menerima kunjungan Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislakan) Kabupaten Cirebon pada 6 Desember 2019. Kunjungan dipimpin oleh Kepala Dislakan Kab. Cirebon,   Itta Rohpitasari, M.Si dan  diterima oleh Kepala LRMPHP, Luthfi Assadad, M.Sc. Kunjungan Dislakan ini  dalam rangka kunjungan kerja untuk melihat peralatan hasil riset LRMPHP dan teknologi Alat Transportasi Ikan Segar (ALTIS-2).

Dalam sambutannya, Kepala LRMPHP mengucapkan terima kasih atas dukungan serta kerjasamanya selama pelaksanaan program Inovasi Teknologi Adaptif Lokasi Perikanan (INTAN) ALTIS-2 di Kabupaten Cirebon. Senada dengan sambutan Kepala LRMPHP, Kepala Dislakan Kab. Cirebon mengapresiasi atas dipilihnya Kab. Cirebon sebagai tempat uji terap ALTIS-2. Kepala Dislakan menyampaikan bahwa pedagang ikan keliling yang menjadi mitra uji terap sudah terbantu dan mendapatkan manfaatnya. Selain itu, Kepala Dislakan juga menyampaikan maksud kunjungannya ini selain untuk melihat peralatan hasil inovasi LRMPHP juga untuk menginisiasi kerjasama lanjutan dengan LRMPHP. Kerjasama yang sudah terjalin saat ini tentang uji terap ALTIS-2 kepada pedagang ikan keliling di Kab. Cirebon. Harapannya akan ada lagi peralatan lainnya  yang diuji terap di Kab. Cirebon.

Selain paparan dari Kepala LRMPHP, Tri Nugroho Widianto, M.Si selaku Koordinator Pelayanan Teknis sekaligus Koordinator Riset ALTIS-2 juga memaparkan hasil uji terap ALTIS-2 yang telah dilakukan di Kab. Cirebon. Disampaikan bahwa secara umum uji terap ALTIS-2 di Kabupaten Cirebon berjalan dengan baik. Pelaku uji terap lebih banyak mendapat manfaatnya, diantaranya penampilan ALTIS-2 yang bersih menjadi daya tarik pembeli, penggunaan es batu berkurang, ikan yang dijual tetap segar serta banyak mendapat tanggapan positip dari para pembeli. Salah satu tindak lanjut untuk perbaikan dan penyempurnaan ALTIS-2, perlunya pendampingan lanjutan dan kerjasama dari Dislakan Kab. Cirebon.

Kunjungan Dislakan Kab. Cirebon Dislakan  diakhiri dengan melihat peralatan hasil riset LRMPHP di ruang display peralatan, workshop dan bengkel konstruksi serta fasilitas pendukungnya. Selama kunjungan dilakukan pemaparan mengenai fungsi dan mekanisme kerja beberapa peralatan hasil rancang bangun LRMPHP diantaranya peralatan  alat uji kesegaran ikan berbasis sensor (alat UKI),  alat transportasi ikan segar roda dua (ALTIS-2), alat pengisi adonan tahu tuna (ALPINDAL), meat bone separator dan  peralatan lainnya.



Kunjungan di ruang display peralatan, workshop dan bengkel konstruksi

Jumat, 06 Desember 2019

Teknologi Pendinginan Berbasis Energi Sinar Matahari

Saat ini banyak negara termasuk Indonesia menghadapi permasalahan sistem pendinginan. Sistem pendingin konvensional dengan freon terbukti menjadi salah satu penyebab pemanasan global. Oleh karena itu perlu dikembangkan teknologi untuk memanfaatkan solar energi sebagai sumber energi dalam sistem pendingin (Solar refrigerator). Dalam sistem ini freon akan digantikan bahan lain seperti Lithium chloride, Lithium bromide maupun air. 

Pemanfaatan sinar matahari sebagai sumber energi terbagi menjadi 2 metode yaitu pertama Photovoltaic System (PVC), kedua Solar Thermal System (STh). Pada PVC energi matahari dikonversi menjadi energi listrik kemudian dimanfaatkan untuk sistem refrigerasi pada umumnya. Teknologi ini sering disebut Photovoltaic Cooling System. Sedangkan pada STh sinar secara langsung memanaskan refrigerant melalui tabung kolektor sebagai pengganti energi listrik. Teknologi ini dikenal sebagai Solar Thermal Cooling System

Photovoltaic cooling (PVC) 
Sel PVC berbahan dasar solid-state semikonduktor yang mampu mengubah sinar matahari menjadi suatu energi. PVC ini output nya berupa listrik arus DC (direct current) sehingga tidak bisa langsung digunakan untuk peralatan dengan sumber listrik AC (alternating current). Oleh karena itu komponen utama PVC adalah modul photovoltaic, battery, sirkuit inverter dan unit pendingin kompresi uap. Skema PVC ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema system photovoltaic cooling
Komponen utama PVC antara lain a) PV modul : untuk menangkap sinar matahri kemudian merubahnya menjadi listrik DC. b) Battery : digunakan untuk menyimpan tegangan DC hasil dari PV modul. Terdapat mode charging saat siang hari, dan mode discharging saat malam atau cuaca mendung. Battery juga harus dilengkapi charge regulator untuk melindungi battery dari overcharging. c) Inverter : berfungsi untuk merubah arus listrik DC menjadi AC d) Pendingin : alat pendingin kompresi uap AC.

PVC dapat dioperasikan sebagai standalone, hybrid maupun grid system. Meskipun efesiensi PVC bisa ditingkatkan dengan penggunaan inverter, namun COP sistem ini masih rendah.

Solar thermal cooling (STh)
Banyak penelitian menyebutkan bahwa STh lebih unggul dibandingkan PVC, karena STh mampu mengkonversi sinar matahari lebih banyak. Energi sinar matahari yang diterima sistem, 65% akan dirubah menjadi energi panas dan hanya 35% dirubah menjadi energi listrik. Oleh karena itu STh lebih populer sebagai thermal solar collector karena mampu mengkonversi sinar matahari menjadi panas. STh terdiri dari 4 komponen utama yaitu rangkaian solar collector, tangki penyimpan panas, unit AC thermal dan heat exchanger. Solar collector menerima energi cahaya dari matahari dan menaikan suhu, hasilnya refrigerant dalam tabung kolektor menjadi panas akibat proses perpindahan
panas. Tangki penyimpan panas digunakan untuk menyimpan refrigerant panas dari tabung kolektor. Thermal AC unit mulai bekerja setelah menerima refrigerant panas dari tabung penyimpan panas dan selanjutnya refrigerant terus bergerak dalam sistem. Heat exchanger berfungsi transfer panas antara ruang panas dan dingin. Sistem STh bisa dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Sistem solar thermal cooling
Meskipun PVC dapat menyediakan energi listrik untuk pendinginan, namun STh lebih efisien. STh telah digunakan oleh industri dan rumah tangga diseluruh dunia. Sistem ini lebih aplikatif, di daerah terpencil atau pulau dimana pendingin konvensional tidak tersedia. Sistem ini juga lebih sesuai dari pada sistem refrigerasi konvensional karena bebas dari polusi refrigerant seperti CFC.

Penulis: Arif Rahman Hakim, Peneliti LRMPHP

Kamis, 05 Desember 2019

Submersible fish cage, KJA yang tenggelam

Ditengah imbas aturan larangan transshipment di tengah laut, marikultur tetap menjadi bisnis perikanan yang menggiurkan. Permintaan ekspor yang tinggi dan kebutuhan dalam negeri yang belum terpenuhi merangsang banyak korporasi untuk menginvetasikan dananya pada bisnis ini. Agar investasi yang dilakukan tidak mengalami kerugian, kesesuaian konstruksi KJA dengan karakteristik perairan mutlak diperhatikan. Konstruksi tersebut harus mampu menahan gelombang tinggi dan angin kencang yang biasa terjadi saat cuaca buruk.

Model konstruksi KJA yang saat ini trending adalah submersible fish cage yaitu KJA yang dapat terapung dan tenggelam. Pada cuaca normal, KJA akan terapung seperti biasa dan apabila kondisi cuaca memburuk KJA akan ditenggelamkan sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh gelombang tinggi. Konstruksi utama submersible fish cage terdiri dari rangka yang terbuat pipa HDPE yang sekaligus berfungsi sebagai pelampung, jaring, pemberat yang dilengkapi dengan kantong udara, tali yang menghubungkan unit KJA dengan pemberat dan jangkar. Kantong udara digunakan untuk menaikturunkan pemberat. Unit KJA akan naik saat kantong udara dikembungkan dan akan turun ke bawah permukaan air saat kantong udara dikempiskan. Kantong udara dikembang-kempiskan melalui suatu saluran udara yang terhubung dengan lubang yang selalu berada dipermukaan air. Salah satu model KJA submersible ini telah dipublikasikan oleh Drach et al. pada V International Conference on Computational Methods in Marine Engineering di Spanyol. Cara kerja KJA tersebut diilustrasikan pada gambar dibawah ini.

Sumber gambar : https://www.researchgate.net/pulication/267759151

Penulis : Iwan Malhani, Peneliti LRMPHP

Pengolahan Pindang Tradisional di Indonesia

Pemindangan ikan merupakan salah satu teknik pengolahan dan pengawetan ikan dengan cara kombinasi perebusan/pemasakan dan penggaraman selama jangka waktu tertentu dalam suatu wadahJenis ikan yang biasa dipindang adalah kembung, tongkol, cakalang, bandeng, bawal, layang, layur, cucut, selar, tanjan, lemuru, kuwe, teri jengki dan teri nasi.

Salah satu sentra produksi ikan tongkol terdapat di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Mumpuni dan Hasibuan (2018) dalam JPHPI 2018, Volume 21 Nomor 3 melaporkan bahwa UMKM pengolahan ikan pindang tongkol di Pelabuhan Ratu, Sukabumi belum menerapkan prinsip Good Manufacturing Practices (GMP) dengan baik. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa semua sampel yang diambil dari pengolah pindang tongkol daerah Pelabuhan Ratu, Sukabumi, mengandung mikroba dengan prevalensi TPC adalah 90%, kapang adalah 100% dan E. coli adalah 10%, sedangkan Salmonella 70%. Proses produksi dilakukan secara tradisional, yaitu : bahan baku disortir, dibersihkan, kemudian ditambahkan garam, selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah dan direbus selama sekitar 2 jam. Larutan garam untuk perebusan dapat digunakan berulang-ulang, namun larutan perebus ini makin lama makin keruh, berwarna gelap, kotor, kental dan agak tengik. Jika larutan perebus yang demikian masih digunakan, ikan pindang yang dihasilkan bermutu rendah.

Untuk mengatasi hal tersebut, seharusnya larutan perebus diganti 2 kali sehari atau tergantung frekuensi penggunaannya. Penggunaan 3-5 kali perebusan masih memungkinkan asal dibersihkan dulu dan kejenuhan garamnya dipertahankanUpaya lainnya yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran mikroba antara lain dengan menggunaka air yang bersih, melakukan sanitasi terhadap ruangan dan peralatan yang digunakan, serta dengan memperhatikan kebersihan personilnya.

Handayani, et al. (2017) memaparkan dalam Pro Food (Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan) vol. 3 no. 1 bahwa pengolahan pindang tradisional juga dilakukan oleh nelayan di beberapa daerah di Indonesia. Nelayan di pesisir pantai Ampenan melakukan proses pemindangan tongkol ±10 kg selama 1-2,5 jam, sedangkan nelayan di Batu Putih, Sekotong, Lombok Barat melakukan pemindangan tongkol dalam waktu 1,5 jam untuk 5 kg ikan tongkol segar.

Pengolahan pindang tradisional lainnya banyak dijumpai di Waduk Malahayu, Brebes seperti dipublikasikan pada Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan (2012). Waduk Malahayu yang memiliki luas sekitar 944 hektar berada di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Proses pengolahan pindang tradisional di Waduk Malahayu umumnya dilakukan dengan cara berikut ini :
Proses pengolahan pindang tradisional di Waduk Malahayu
Pengolah pindang tradisional di sekitar Waduk Malahayu menggunakan ikan mas/ nila/ gabus yang dibeli di Tempat Pelalangan Ikan (TPI) sederhana di Waduk Malahayu kemudian langsung diolah menjadi ikan pindang. Teknik pengolahan pindang di Waduk Malahayu termasuk ke dalam teknik pemindangan garam. Pemindangan garam adalah cara pemindangan dimana lapisan ikan yang telah digarami disusun berlapis-lapis di dalam wadah yang terbuat dari pelat logam (badeng) pendil/ paso tanah, dan direbus pada suhu 80°C dalam jangka waktu 4-6 jam. Wadah perebus langsung digunakan sebagai wadah untuk distribusi dan penjualanGaram yang digunakan yaitu garam krosok (garam curah), karena harganya lebih murah dibandingkan dengan garam produksi industri.

Ikan pindang dijual ke konsumen dengan dibungkus daun pisang dan dilapisi kertas minyak sehingga harus segera habis dikonsumsi dalam satu hari. Jika tidak segera dikonsumsi harus dipanaskan kembali untuk menjaga mutu keamanan pangannya. Perbaikan yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan kemasan plastik yang ditutup dengan sealer atau kemasan vakum untuk ikan pindang.

Penulis : Putri Wulandari, Peneliti LRMPHP

Case Hardening pada Proses Pengeringan Konveksi Produk Makanan


Pengeringan merupakan salah satu metode pengawetan produk makanan untuk memperpanjang usia penyimpanan. Pengeringan pada dasarnya merupakan proses perpindahan energi yang digunakan untuk menguapkan air yang berada dalam bahan sehingga mencapai kadar air tertentu. Pada proses pengeringan terjadi penurunan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan produk akibat aktivitas biologi dan kimia.

Dalam Microwave Technology for Food Processing yang disampaikan oleh Orsat et al (2017), pengeringan konveksi merupakan metode pengeringan yang paling umum digunakan. Meskipun prinsip operasinya sederhana dan biaya konstruksi yang rendah, tetapi ada kriteria tertentu, seperti ketidakefisienan energi dan kualitas produk yang tidak diinginkan. Dalam pengeringan konveksi, udara kering digunakan untuk menghilangkan kadar air dari produk yang menciptakan gradien tekanan antara inti dan permukaan produk sehingga kadar air akan bergerak dari dalam ke permukaan.

Produk yang dikeringkan secara konveksi akan mengalami penyusutan karena berkurangnya kadar air pada produk. Menurut Gulati & Datta yang disampaikan dalam Journal of Food Engineering (2015), penyusutan bahan ini berperan penting dalam pengembangan struktur dan volume akhir dari produk kering. Selain itu proses pengeringan juga dapat menyebabkan case hardening terutama pada proses pengeringan dengan suhu yang tinggi.

Disampaikan oleh Orsat et al (2017) dalam Microwave Technology for Food Processing, fenomena case hardening terjadi jika pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi. Pemanasan yang terlalu cepat akan mengakibatkan bagian permukaan luar produk kering lebih cepat dan bagian dalam produk terlambat kering. Skema case hardening seperti disajikan pada gambar 1. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Wagner et al. (1995) dalam Purdue University Extension Services Report no RR 7/95 yang melaporkan bahwa ketika produk makanan diproses pada suhu tinggi selama pengeringan, makanan yang dimasak pada bagian luar akan mengalami case hardening yang dapat digambarkan sebagai semacam cangkang pelindung yang akan menyebabkan penyusutan lebih sedikit dan kepadatan rendah pada produk. Sedangkan informasi yang diperoleh dari Martynenko (2001) yang dilaporkan dalam Food Bioprocess Technology, bahwa kasus pengerasan dapat merupakan hasil dari pembentukan kerak dan / atau hilangnya sifat viskoelastik dari produk makanan yang dikeringkan pada suhu tinggi.

Gambar 1. Skema case hardening
Fenomena case hardening ini akan menyebabkan proses pengeringan tidak merata sehingga produk yang dikeringkan tidak kering dengan sempurna, terutama pada bagian dalam produk. Oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan untuk mengurangi ataupun menghilangkan peristiwa case hardening. Salah satu cara pencegahan case hardening adalah menggunakan suhu yang lebih rendah dan mengendalikan laju pengeringan terutama pada tahap awal pengeringan.

Penulis : Wahyu Tri H., LRMPHP

Efisiensi Energi dan Industri Pengolahan Perikanan yang Berkelanjutan

Industri pengolahan ikan di Indonesia terus berkembang bahkan saat ini masuk 5 besar negara penyuplai produk perikanan dunia. Bahan baku produk olahan perikanan sebagian besar berasal dari perikanan laut / hasil tangkapan. Ikan-ikan ini kemudian diolah menjadi berbagai macam olahan (70%) dan hanya 30% yang dijual berupa produk segar. Industri perikanan (pengolahan produk) memerlukan bahan pendukung berupa energi dan suplai air bersih yang besar. Pemenuhan energi sejauh ini bertumpu pada bahan bakar minyak dari fosil (fuel) yang harganya terus naik karena ketersediaannya semakin berkurang, selain itu, penggunaan fuel dari fosil menyebabkan peningkatan CO2 di atmosfer sehingga menjadi salah satu penyebab perubahan iklim global. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah tepat agar industri perikanan tetap berkelanjutan dan ramah lingkungan. Salah satu langkah fundamental untuk mengurangi penggunaan fuel sebagai sumber energi adalah dengan efisiensi proses. Cara ini relative reliable karena tidak membutuhkan penambahan investasi modal yang signifikan (besar).

Tingkat konsumsi energi tergantung pada skala produksi, jenis produk dan level otomatisasi mesin yang digunakan. Energi diperlukan untuk operasi permesinan, produksi es, pemanasan, pendinginan dan pengeringan. Proses pengolahan ikan yang melibatkan pemanasan akan membutuhkan energi yang lebih intensif sedangkan proses tanpa pemanasan seperti produk filet ikan energi yang diperlukan lebih sedikit. Kebutuhan energi (secara umum) dan biaya pada beberapa jenis industri pengolahan ikan adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Kebutuhanenergiindustripengolahanikan
Jenispengolahan
Produksi (jutaton)
Konsumsi  (kWh/ton)
Total energiproduksi (GWh)
BiayaUSD0.15/kWh (USD million)
Pendinginan
50
28a)
1400
210
Filet
20
70
1400
210
Pembekuan
20
78b)
1560
234
Pengalengan
13
250
3250
487,5
Pengeringan
12
545
6540
981
Fishmeal / fish oil
21
400
8400
1260
Sumber : Food And Agricultural Organization, 2014

a) 60 kWh/ton es, rata-rata 1:3 (es:ikan), 40% untuk proses lanjutan at 20 kWh/ton. 
b)120 kWh/ton pembekuan tambah 20 kWh/ton penyimpanan, 50% pembekuan di kapal, 10% penyimpanan dikapal. 

Berdasarkan data tersebut, konsumsi energi merupakan area yang memerlukan biaya besar meski seringkali biaya untuk supali energi ini terabaikan. Beberapa langkah sederhana dalam efiesien energi tanpa menambahkan biaya modal investasi antara lain: 1) Implementasi program switch-off dan instal sensor untuk mati otomatis lampu penerangan dan peralatan yang tidak digunakan. 2) Memperbaiki insulasi pada perpipaan baik untuk proses panas maupun dingin. 3) Menggunakan peralatan secara efisein. 4) Melakukan pemeliharaan alat dan mesin secara rutin. 5) Menjaga / mempertahankan optimal pembakaran pada steam boiler. 6) Eliminasi kebocoran steam. 6)Memanfaatkan sisa energi panas atau dingin pada suatu mesin untuk input energi alat/mesin lainnya. 

Metode lain yang lebih advanced yaitu dengan memanfaatkan limbah yang dihasilkan sebagai sumber energi. Hal ini berhasil dilakukan salah satu industri perikanan di Thailand, Enerfish. Kebutuhan energinya sebesar 414 kWh per ton ikan bahan baku atau 1400 kWh per ton produk. Bersama dengan efisiensi unit pendingin dan pembekuan, kebutuhan energi dikurangi dengan mengkonversi limbah menjadi biofuel. Biofuel yang dihasilkan juga bisa menjadi produk penjualan. Rata-rata per hari industri ini menghasilkan 80 ton limbah, dari jumlah ini bisa dihasilkan 17 ton minyak ikan, 13 ton biodiesel yang setara dengan energi 126 MWh. Energi ini bisa digunakan untuk suplai daya unit pengolahan sebesar 57 MWh dan 77 MWh untuk energi panas.

Efisiensi energi melalui efektifitas penggunaan alat dan mesin serta pemanfaatan limbah yang dihasilkan diharapkan bisa diterapkan oleh industri perikanan di Indonesia. Selain untuk pengurangan biaya yang timbul juga untuk menjaga lingkungan tetap lestari.

Penulis : Arif Rahman Hakim, Peneliti Muda LRMPHP