PELATIHAN

LRMPHP telah banyak melakukan pelatihan mekanisasi perikanan di stakeholder diantaranya yaitu Kelompok Pengolah dan Pemasar (POKLAHSAR), Kelompok Pembudidaya Ikan, Pemerintah Daerah/Dinas Terkait, Sekolah Tinggi/ Universitas Terkait, Swasta yang memerlukan kegiatan CSR, Masyarakat umum, dan Sekolah Menengah/SMK

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan

LRMPHP sebagai UPT Badan Riset dan SDM KP melaksanakan riset mekanisasi pengolahan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 81/2020

Tugas Pokok dan Fungsi

Melakukan tugas penelitian dan pengembangan strategis bidang mekanisasi proses hasil perikanan di bidang uji coba dan peningkatan skala teknologi pengolahan, serta rancang bangun alat dan mesin untuk peningkatan efisiensi penanganan dan pengolahan hasil perikanan

Kerjasama

Bahu membahu untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan dengan berlandaskan Ekonomi Biru

Sumber Daya Manusia

LRMPHP saat ini didukung oleh Sumber Daya Manusia sebanyak 20 orang dengan latar belakang sains dan engineering.

Rabu, 09 Desember 2020

Energi Pengolahan Bioplastik

Bioplastik (Sumber gambar: https://bioplasticsnews.com/)

Produksi bioplastik mengalami kenaikan setiap tahunnya meskipun jumlahnya masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan plastik konvensional yang merupakan turunan minyak bumi. Plastik ramah lingkungan masih didominasi oleh bahan polyethylene terephthalate (PET), polyethylene (PE), PLA, PHA, dan campuran pati lainnya. Untuk dapat meningkatkan kapasitas produksi dan bersaing dengan plastik konvensional maka dibutuhkan metode yang efisien untuk pengolahan bioplastik. Konsumsi energi merupakan salah satu parameter yang perlu dipertimbangkan. Kajian yang dilakukan oleh peneliti Universitas Braunschweig, Jerman seperti disampaikan pada The 24th CIRP Conference on Life Cycle Engineering menganalisis secara empiris kebutuhan energi pada pengolahan beberapa jenis bioplastik antara lain PLA (polylactic acid), PHBV (Polyhydroxybutylvinyl), CA (Cellulose Acetate) dan PP (Poly-Propylene) sebagai pembanding.  Kajian ini menitik beratkan pada pengolahan bioplastik menggunakan teknik injection moulding.

Teknik injection moulding terdiri dari dua tahapan utama yaitu preprocessing dan processing. Tahap preprocessing pada pengolahan bioplastik antara lain adalah pengeringan. Proses pengeringan perlu dilakukan karena bioplastik memiliki sifat menyerap kelembapan udara. Terdapat tiga parameter utama dalam proses ini yaitu waktu pengeringan, kebutuhan energi oven, dan bahan bioplastik yang digunakan. Jenis bioplastik yang digunakan berpengaruh terhadap waktu pengeringan dan suhunya. Sementara kenaikan suhu dan waktu pengeringan menyebabkan kenaikan kebutuhan energinya. Oleh sebab itu karakteristik bahan bioplastik sangat berpengaruh terhadap kebutuhan energi pada proses pengeringan. Analisis kebutuhan energi pada tahap processing difokuskan pada dua proses utama yaitu pemanasan (warm up) dan injection moulding. Proses pemanasan mesin injection moulding membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini sangat bergantung pada jenis mesin dan karakteristik bahan yang digunakan.

Berdasarkan kajian secara empiris masing-masing bahan memiliki kebutuhan energi yang berbeda-beda pada tiap tahapan proses injection moulding. Namun untuk total kebutuhan energi pada proses injection moulding tidak jauh berbeda. Bahan bioplastik dengan kebutuhan energi paling tinggi adalah PLA. Hal ini karena waktu dan suhu pada setiap tahapan proses berngaruh terhadap  kebutuhan energi. PLA memiliki waktu pengeringan yang cukup tinggi yaitu 8 jam dan titik leleh 170oC. Akan tetapi kebutuhan energi PLA masih lebih rendah jika dibandingkan dengan PP.


Penulis : Toni Dwi Novianto - LRMPHP


Senin, 07 Desember 2020

PENGALENGAN MANGUT LELE

Mangut lele kaleng

Makanan tradisional Indonesia sangat kaya dan beraneka ragam serta memiliki potensi besar untuk dikembangkan, termasuk makanan tradisonal yang bersumber dari perikanan. Namun demikian, makanan tradisional tersebut umumnya memiliki masa simpan yang rendah. Salah satu makanan tradisonal dari sumber perikanan adalah mangut lele. Mangut lele adalah makanan tradisional dari daerah "Mataraman" (Yogya-Solo) dan Semarang-Kendal. Sesuai dengan namanya, komposisi utamanya adalah lele goreng, yang diberi bumbu mangut. Makanan ini banyak diminati oleh berbagai kalangan masyarakat. Makanan tradisional dapat ditingkatkan masa simpannya dengan penerapan teknologi pengemasan yg tepat, salah satunya yaitu teknologi pengalengan. Penelitian pengalengan mangut lele telah dilakukan antara lain oleh Herawati dkk tahun 2020 yang dimuat dalam Jurnal Riset Teknologi Industri terbit online Desember 2020. Pada penelitian tersebut membahas  mengenai pengalengan yang merupakan salah satu metode pengawetan bahan pangan dengan cara dikemas secara hermetis dan lalu disterilkan. Pengemasan secara hermetis adalah pengemasan bahan pangan dalam suatu wadah berupa kaleng, alumunium, atau gelas yang penutupannya sangat rapat, sehingga udara dan air tidak dapat masuk serta kerusakan karena oksidasi dan perubahan cita rasa tidak terjadi. 

Menurut hasil penelitian tersebut, teknologi pengalengan dilakukan untuk meningkatkan masa simpan dengan pengemasan menggunakan kemasan kaleng. Proses pengalengan ikan terdiri dari tahapan meliputi persiapan bahan, proses blanching / precooking, pengisian bahan kedalam kaleng, penambahan media cairan (garam, minyak, atau saus), penghampaan udara /exhausting, penutupan kaleng, sterilisasi menggunakan retort, pendinginan, pengeringan, pelabelan, dan penyimpanan. Proses pengalengan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan media larutan garam atau minyak. Selain menggunakan media garam atau minyak, media dengan larutan bumbu masakan tertentu juga dapat digunakan pada produk pengalengan, misalnya pengalengan ikan tuna dengan menggunakan media bumbu kari.

Pengalengan terhadap mangut lele yang telah dilakukan oleh Herawati dkk tahun 2020 memiliki kapasitas produksi sebesar 1000 kaleng/hari. Bahan yang dibutuhkan untuk proses pengalengan mangut lele adalah ikan lele dan bumbu mangut meliputi bawang merah, bawang putih, ketumbar, kemiri, cabai, daun salam, jahe, dan lengkuas. Alat yang digunakan untuk proses pengalengan antara lain seamer (VARIN), retort (TOMMY SS-325), dan bak pendingin. Kemasan kaleng yang digunakan yaitu ukuran Ø 301 X 205  dengan ketebalan 0,5 mm, lapisan luar dari bahan Gold, dan lapisan dalam dari aluminium (Gambar 1). Tahapan proses pengalengan pada mangut lele meliputi preparasi bahan, pembuatan sayur mangut lele, pengisian dalam kaleng, penghampaan udara (80oC, 10 menit), penutupan kaleng, sterilisasi (121oC, 20 menit), pendinginan, dan karantina 14 hari.

Perhitungan teknoekonomi untuk melihat aspek ekonomi dilakukan dengan melakukan perhitungan biaya investasi (kebutuhan alat), biaya tetap (depresiasi alat dan tenaga kerja), dan biaya variabel (bahan, utilitas, pengemasan, bahan bakar dan production management). Keuntungan dapat dihitung dari selisih total pendapatan dan total biaya produksi. Perhitungan B/C ratio dilakukan dengan menghitung pendapatan total dibagi dengan total biaya produksi. Perhitungan ekonomi pengalengan mangut lele menggunakan beberapa asumsi, diantaranya kapasitas produksi 20000 kaleng per bulan, tenaga kerja yang diperlukan sebanyak 10 orang dan tahapan proses pengalengan menggunakan alat (mekanisasi produksi), kecuali pengisian dan penimbangan bahan dalam kaleng dilakukan manual. Perhitungan biaya tetap, biaya variabel, dan analisis ekonomi menunjukkan bahwa total investasi yang dibutuhkan sebesar Rp1,034,900,000 untuk pembelian mesin dan alat proses pengalengan. Perhitungan total biaya tetap diperoleh dengan menghitung biaya depresiasi alat dan biaya tenaga kerja didapatkan Rp37,330,556. Perhitungan biaya variabel meliputi biaya bahan baku dan bahan pendukung, biaya listrik dan bahan bakar didapatkan sebesar Rp 200,950,000. Setelah didapatkan total investasi, biaya tetap dan biaya variabel, maka didapatkan perhitungan teknoekonomi seperti dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perhitungan Teknoekonomi Usaha Pengalengan Mangut Lele

Uraian

Satuan

Nilai

Kapasitas Produksi

kaleng/bulan

20,000

Biaya produksi total (biaya tetap dan biaya variable)

Rp/bulan

238,280,556

Cost of good sold (CoGS)

(Biaya produksi total : kapasitas produksi)

Rp/kaleng

11,914

Keuntungan 20% (dari nilai CoGS)

Rp/kaleng

2,382.81

Biaya pemasaran 5% (dari nilai CoGS)

Rp/kaleng

596

Biaya transportasi 5% (dari nilai CoGS)

Rp/kaleng

596

Pajak (PPH&PPN = 12.5%) (dari nilai CoGS)

Rp/kaleng

1,489

Harga jual

Rp/kaleng

16,977

Pendapatan total jika 100% terjual

Rp/bulan

339,549,792

Keuntungan sebelum pajak

(pendapatan total - biaya produksi total)

Rp/bulan

 

101,269,236

B/C ratio (pendapatan total : biaya produksi total)

-

1.43

Return of invesment (ROI)

%

42.50

  Sumber : Herawati dkk (2020)

Menurut hasil penelitian tersebut, suatu usaha dinyatakan layak jika B/C ratio  > 1 dan jika B/C ratio < 1 kegiatan usaha tidak layak untuk dikembangkan. Dari hasil perhitungan teknoekonomi, didapatkan B/C ratio usaha pengalengan mangut lele > 1 sehingga usaha pengalengan ini sangat potensial untuk dikembangkan bahkan cukup menguntungkan. Hasil analisa teknoekonomi juga menunjukkan bahwa  nilai Return of Investment (ROI) cukup tinggi, sehingga usaha produksi pengalengan mangut lele ini sangat layak untuk dikembangkan. Dengan hasil ini maka proses pengalengan menjadi salah satu alternatif teknologi proses untuk meningkatkan masa simpan produk yang sangat potensial dan menguntungkan  untuk dikembangkan pada makanan tradisional Indonesia khususnya mangut lele.

Proses pengalengan terhadap produk mangut lele ini memberikan nilai Fo/kecukupan panas dan karakteristik kimia yang baik. Mangut lele kaleng mengandung 119 kalori per 100 gram produk. Pengujian mikrobiologi menunjukkan produk negatif dari kandungan salmonella, staphylococcus aureus, dan clostridium. Pengujian cemaran logam menunjukkan hasil masih masih dibatas aman.


Penulis ; Ahmat Fauzi - LRMPHP




Kamis, 03 Desember 2020

IDENTIFIKASI KEBERADAAN IKAN INVASIF MENGGUNAKAN eDNA

 

Sumber : https://cosmoso.net/fishing-for-dna-free-floating-edna-identifies-presence-and-abundance-of-ocean-life/

Keberadaan spesies ikan invasif di suatu perairan akan mengancam keberadaan populasi spesies endemik di perairan tersebut. Jika kondisi tersebut dibiarkan saja maka kekayaan hayati perairan Indonesia akan terancam.

Menurut IUCN dalam Redlist of Threatened Spesies, spesies asing invasif adalah spesies asing yang mampu membentuk diri mereka pada ekosistem alami atau ekosistem semi alami, sebagai awal perubahan dan mengancam keanekaragaman hayati lokal/asli.

Tindakan pencegahan dan penanggulangan ikan invasif saat ini telah dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu melalui Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang perikanan yang telah diubah menjadi Undang-undang nomor 45 tahun 2009. Selain itu, hal ini juga diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41/Permen-KP/2014 tentang Larangan Pemasukan Ikan Berbahaya ke Indonesia. 

Beberapa penelitian juga sudah dilakukan untuk mempermudah pendeteksian ikan invasif. Salah satu metode yang sudah dikembangkan adalah Environmental DNA (eDNA).

Menurut Keeping & Pelletier dalam jurnal PLos One (2014) menyampaikan bahwa keberadaan spesies hewan di lingkungan dapat diketahui dengan pengamatan langsung (direct sign) dan pengamatan tak langsung (indirect sign) (Keeping dan Pelletier 2014). Pengamatan tak langsung (indirect sign) dapat diamati melalui jejak-jejak yang ditinggalkan hewan tersebut, salah satunya material genetik (DNA) yang ditinggalkan, yang dikenal dengan Environmental DNA (eDNA). Menurut Ficetola et al. yang disampaikan dalam jurnal Biol. Lett. (2008) menyebutkan bahwa Deteksi eDNA adalah teknik yang digunakan untuk memonitoring hewan di perairan. Teknik ini didasarkan pada fakta bahwa semua hewan yang hidup di air meninggalkan DNA melalui kotoran mereka, urine, dan keluapasan kulit.

Beberapa penelitian terkait dengan eDNA untuk pendeteksian ikan sudah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Keskin E. dalam jurnal Biochemical Systematic and Ecology (2014) melakukan penelitian pendeketsian spesies ikan invasif menggunakan survey environmental DNA. Penelitian dilakukan dengan menggunakan sampel air yang diambil dari 15 stasiun yang berbeda, pada 2 musim yang berbeda. Sampel air tersebut selanjutnya dianalisis secara molekuler. Hasil penelitian dengan jelas menunjukkan bahwa survei eDNA dapat digunakan sebagai alat molekuler penting untuk memantau spesies ikan invasif dalam ekosistem air tawar. Penelitian lain yang dilakukan oleh Djalil VN et al dalam Jurnal Biologi Tropis (2018), melakukan penelitian aplikasi teknik environmental DNA (eDNA) untuk deteksi spesies Cherax quadricarinatus (Von Martens 1868) menggunakan sampel air. Teknik ekstraksi eDNA dilakukan dari sampel air dengan menggunakan teknik pengendapan. Sampel air diambil dari 35 badan perairan tawar di provinsi Jawa Barat. Validasi keberadaan C.quadricarinatus dilakukan dengan menggunakan metode pengembangan PCR dan desain primer spesifik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan C.quadricarinatus terdeteksi sebanyak 60% dari keseluruhan badan perairan.

Penulis : Wahyu Tri Handoyo - LRMPHP

Senin, 30 November 2020

PENTINGNYA FAKTOR LINGKUNGAN ODP DAN GWP DALAM PEMILIHAN REFRIGERAN

Visualisasi efek ODP dan OWP terhadap lingkungan (Sumber : https://www.waroengteknologiac.id/)

Metode pendinginan ikan di atas kapal nelayan ukuran di bawah 30 GT selain penggunaan es balok antara lain adalah air laut yang direfrigerasi (ALREF) atau sistem refrigerated sea water (RSW) dengan refrigerasi kompresi uap.  Air laut didinginkan dengan mesin refrigerasi dan selanjutnya air laut dingin digunakan untuk mendinginkan ikan di dalam palka. Di dalam mesin dengan sistem refrigerasi kompresi uap, perpindahan panas terjadi melalui suatu fluida penukar kalor yang sangat penting, disebut Refrigeran. Namun ternyata substansi refrigeran memiliki dampak yang berbahaya bagi lingkungan yang dinyatakan dengan pengukuran ODP dan GWP. 

ODP adalah singkatan dari Ozone Depletion Potential, secara harfiah diartikan sebagai Potensi Penipisan Ozon, adalah substansi yang merusak lapisan ozon, relatif terhadap CFC-11. CFC-11 dianggap paling merusak ozon, bernilai ODP maksimum atau 1. ODP adalah ukuran relatif degradasi lapisan ozon yang disebabkan suatu senyawa. ODP merupakan nilai perbandingan degradasi lapisan ozon suatu senyawa dalam satuan massa tertentu terhadap CFC-11 dengan massa yang sama. ODP memiliki potensial merusak lapisan ozon. Dampak  rusaknya ozon adalah sinar ultra violet dari matahari akan langsung memancar ke bumi. Sinar ultraviolet yang langsung memancar ke bumi dapat mengakibatkan penyakit, suhu bumi meningkat dan tidak ada perlindungan terhadap bumi dari benda - benda dari langit yang jatuh ke bumi.

GWP atau Global Warming Potential, secara harfiah disebut potensi pemanasan global, menurut UNEP adalah ukuran dari efek pemanasan global relatif dari berbagai gas. Ukuran tersebut memberikan nilai untuk jumlah panas yang terperangkap oleh massa gas tertentu relatif terhadap jumlah panas terperangkap oleh massa karbon dioksida (CO2) yang sama pada jangka waktu tertentu. Karbon dioksida dipilih oleh Intergovernmental Panel on Climate Chang (IPCC) sebagai gas referensi dan diambil GWP-nya sebagai 1. Semakin tinggi nilai GWP, semakin spesifik gas menghangatkan bumi dibandingkan dengan karbon dioksida. Nilai GWP untuk bahan perusak ozon dapat berkisar misalnya dari 2 hingga sekitar 14.000. GWP dari HFC yang umum digunakan dapat berkisar dari <1 sampai sekitar 12.500. GWP berkontribusi pada pemanasan bumi akibat panas yang terjebak di dalam atmosphere sehingga terjadi apa yang disebut pemanasan global.

Refrigeran terdiri dari banyak jenis sesuai dengan unsur-unsur penyusunnya. Pertimbangan dampak terhadap lingkungan penting dalam pemilihan refrigeran selain kriteria pemilihan yang lain (tingkat penyerapan panas, mudah terbakar, nilai ekonomi, dan lain-lain). United Nations Environmental Programme (UNEP) adalah organisasi PBB yang menangani lingkungan dan saat ini sangat fokus untuk menanggulangi efek ODP dan OWP. UNEP didukung penuh oleh banyak pihak salah satunya ASHRAE. 

Pemilihan refrigeran untuk aplikasi HVAC & R menjadi semakin kompleks. Masalah lingkungan telah mennjadikan potensi perusak ozon (ODP), potensi pemanasan global (GWP), efisiensi energi, dan life-cycle climate performance (LCCP) menjadi hal yang sangat penting. Beberapa negara telah menanggapinya dengan mengembangkan batasan regulasi, protokol internasional, atau perjanjian sukarela. Sejak pelaksanaan Protokol Montreal 1987 (UNEP 2017), chlorofluorocarbons (CFCs) dan hydrochlorofluorocarbons (HCFCs) mengandung klorin (misalnya, CFC-11, CFC-12, HCFC-22, R-502, dan HCFC-123) sedang dihapus karena ODP. Pada Oktober 2016, Amandemen Kigali pada Protokol Montreal (UNEP 2016) dinegosiasikan karena kekhawatiran tentang perubahan iklim, yang mendorong transisi pada pilihan GWP yang lebih rendah juga. Kebutuhan refrigeran GWP yang lebih rendah telah menyebabkan peningkatan pengembangan dan pemanfaatan opsi refrigeran yang mudah terbakar untuk memenuhi target GWP. Akibatnya, standar keselamatan sedang dinilai kembali dan diperbarui untuk memenuhi meningkatnya minat pada cairan kerja yang mudah terbakar atau agak mudah terbakar. Karena standar sedang dikembangkan dan penelitian tentang refigeran baru sedang dilakukan, pergeseran dari hidrofluorokarbon (HFC) untuk menurunkan GWP terjadi di negara maju dan beberapa negara berkembang. 

Masing-masing kelas refrigeran memiliki kinerja dan / atau aspek lingkungan yang menguntungkan masing-masing, tidak ada yang memiliki sifat yang ideal dari keduanya. Bahkan yang disebut refrigeran alami seperti amonia, hidrokarbon, dan karbon dioksida (CO2) memiliki masalah, termasuk sifat mudah terbakar, toksisitas, tekanan tinggi, dan dalam beberapa kasus memiliki efisiensi pengoperasian yang lebih rendah, bergantung pada fluida. Beberapa campuran hydrofluoroolefin (HFO) dan HFC telah dikembangkan untuk mengoptimalkan kinerja dan meminimalkannya aspek negatif. 

Gambaran ODP dan GWP pada refrigeran saat ini ditunjukkan seperti pada Gambar 2. Tampak bahwa refrigeran CFC mempunyai nilai ODP dan GWP yang tinggi, HCFC masih cukup tinggi dan HFC paling rendah. Saat ini refrigeran HCFC sudah dikurangi penggunaanya dan ditargetkan berakhir pada tahun 2030 dan R-22 pada 2020. Beberapa refrigeran HFC masih digunakan karena memiliki nilai ODP dan GWP yang cukup rendah. 

ODP dan GWP pada beberapa refrigeran CFC dan non CFC relatif terhadap CFC-11 (Sumber: World Meteorological Organization)

Beberapa refrigeran yang sudah ada antara lain CFC-11 atau R-11, memiliki nilai GWP 5000 dalam rentang tahun 20 tahun atau 5000 kalinya dampak efek rumah kaca yang disebabkan CO2. HCFC-22 atau R-22 yang saat ini masih banyak digunakan memiliki nilai GWP 4300 dalam rentang tahun 20 tahun atau 4300 kalinya dampak efek rumah kaca yang disebabkan CO2 sedangkan ODP HFC-22 bernilai 0.05 atau 0.05 kalinya besar degradasi lapisan ozon yang disebabkan CFC-11. Untuk HFC-134a memiliki ODP bernilai 0, namun GWP refrigerant tersebut masih bernilai 1300 dalam rentang waktu 100 tahun atau 1300 kalinya dampak efek rumah kaca yang disebabkan  CO2.

Dengan pertimbangan dampak lingkungan, maka nilai ODP dan GWP ini sangat penting untuk diperhatikan pada pemilohan refrigeran. Sebaiknya refrigeran yang dipilih memiliki nilai ODP nol dan GWP yang rendah. Sebaik apapun sistem tetap masih ada kebocoran dan juga adanya pembuangan limbah refrigeran yang dapat terbuang dan merusak lingkungan.

Saat ini banyak sistem pendingin pada kapal ikan di Indonesia yang masih menggunakan R-22 sebagai refrigeran karena saat ini R-22 yang banyak tersedia, sementara jenis refrigeran lain masih terbatas untuk kalangan nelayan. Alternatif refrigeran yang dapat digunakan sebagai pengganti R-22 yaitu R410A dan R-407C karena memiliki ODP nol dan GWP rendah dan kinerja dan suhu kerja yang hampir sama dengan R-22. Alternatif lain pengganti R-22 yaitu R-507A & R-404A dengan mengganti valve dan lubricant namun memiliki tekanan operasi dan kapasitas yang lebih tinggi. R-417a (Nu-22) dapat juga dipilih namun dilaporkan bermasalah pada oli balik dan kapasitas turun pada suhu rendah. Sedangkan pada pembekuan suhu rendah dengan freezer yang menggunakan antara lain CFC 502, dapat dipilih refrigeran alternatif R-404A (HFC) dan R-507A (HFC).


Penulis : Ahmat Fauzi


Jumat, 27 November 2020

Semarak Peringati Harkannas 2020, KKP Catat Rekor Muri dan Launching Aplikasi Gemarikan

Pandemi covid 19 tak mengurangi semarak peringatan Hari Ikan Nasional (Harkannas) yang jatuh setiap tanggal 21 November, dimana  pada tahun 2020 ini merupakan peringatan yang ke-7. Berbagai event digelar dalam rangkaian peringatan Harkannas dengan tetap memperhatikan  protokol kesehatan Covid 19.  Dan pada puncak peringatan Harkannas yang diselenggarakan pada Kamis (26/11) digelar acara serentak yang dipusatkan di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan diikuti seluruh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi di Indonesia.

Acara dimulai dengan makan ikan bersama secara serentak  terhubung melalui aplikasi zoom yang dikomandoi dari Jakarta dan diikuti oleh seluruh Provinsi di Indonesia. Acara makan ikan ini merupakan pertama kalinya dilakukan di Indonesia, sehingga diganjar penghargaan oleh Museum Rekor Indonesia  dengan menciptakan rekor baru  “Makan Ikan Serentak dilokasi terbanyak di Seluruh Indonesia.”

“Penghargaan dari MURI semoga semakin menumbuhkan kesadaran masyarakat di seluruh Indonesia untuk terus mengkonsumsi ikan. Makan ikan merupakan investasi kesehatan untuk masa depan,” ujar  Artati Widiarti, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan.

Lebih lanjut Artatti menyebutkan bahwa tema Peringatan Harkannas  tahun ini  adalah Makan Ikan Tingkatkan Imunitas Lawan Covid dan Stunting,  dengan pertimbangan bahwa pangan dan gizi adalah hal yang saling terkait dan saat ini masih menjadi masalah nasional yang perlu diselesaikan. Konsumsi ikan dianggap salah satu solusi untuk melawan stunting dan covid karena ikan  mempunyai keunggulan diantaranya mengandung asam lemak Omega 3 tinggi untuk perkembangan mata, otak, dan jaringan syaraf serta memiliki komposisi asam amino lengkap, mudah dicerna dan diserap tubuh, serta sumber vitamin D dan Kalsium bagi pertumbuhan tulang.

“KKP terus  menganjurkan masyarakat untuk mengkonsumsi ikan guna meningkatkan imunitas tubuh.  Untuk itu ayo makan ikan berkualitas untuk meningkatkan imunitas,” terang Artati.

Selain makan ikan, dilakukan juga pameran virtual yang juga diikuti oleh seluruh  daerah di Indonesia.  Masing – masing daerah secara bergiliran menampilkan produk produk olahan unggulan yang khas dari daerah masing-masing. Berbagai inovasi menu dan produk produk olahan berbahan baku ikan ditampilkan pada pameran kali ini. Seperti dari Maluku yang menampilkan ikan tuna asap cair dan ikan abon tuna plus teri. Tak hanya dipasarkan di daerah Maluku saja, produk ini bahkan sudah dibawa keluar negeri sebagai oleh oleh.  Dari NTB tak kalah menarik menarik dengan menampilkan produk produk olahan dari rumput laut yang dibuat menjadi coklat dan biskuit.  Dan masih banyak daerah daerah lainnhya yang menampilkan produk inovasi dengan memanfaatkan hasil hasil tangkapan nelayan setempat.

Tak kalah menarik dan inovatif, KKP pada kesempatan ini melaunching aplikasi tentang  Gemarikan yang bisa diakses melalui smartphone.  “Tinggal instal aplikasi “Gemarikan” dari playstore, masyarakat akan mendapatkan semua informasi yang terkait dengan Gemarikan mulai dari katalog ikan, olahan ikan, resep masakan, restoran hingga umkm perikanan,”terang Artati.

Rangkaian seminar online yang dikemas dalam format webinar  juga dilakukan dalam rangka peringatan Harkannas tahun 2020 ini  dan dilaksanakan secara berkala sebelum acara puncak peringatan.  Pada Webinar seri ke-1, telah dibahas manfaat ikan untuk meningkatkan imunitas khususnya menghadapi pandemi COVID-19. Kemudian webinar seri ke-2, diulas tips bagaimana mengajak anak untuk lebih menyukai dan mengonsumsi ikan. Tak kalah menarik pada seri ke-3 dibahas tentang makan ikan untuk kesehatan dan kecantikan. Dan sebagai penutup  pada acara puncak digelar webinar dengan mengangkat tema ikan untuk Indonesia maju.

“Semoga dengan adanya Harkannas yang diperingati setiap tahun membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia bahwa sebagai negara kepulauan, bangsa kita memiliki potensi perikanan yang perlu dimanfaatkan secara optimal dan lestari untuk bangsa.  Selain itu  dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dan mendukung ketahanan pangan dan gizi nasional, diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya ikan sebagai bahan pangan yang mengandung protein berkualitas tinggi,” pungkas Artati.

  

Sumber : KKP


Rabu, 25 November 2020

Monitoring Kesegaran Ikan Menggunakan Smart Packaging

Smart packaging (Sumber gambar : https://www.idipac.com/)

Penelitian yang dipublikasikan pada jurnal Sensors and Actuators pada tahun 2020 telah mengkaji mengenai monitoring kesegaran ikan menggunakan metode smart packaging dengan mode ganda. Saat ini konsumen telah sangat peduli terhadap kualitas ikan terutama yang berhubungan dengan kesehatan. Oleh karena itu perlu ada terobosan baru mengenai metode monitoring kesegaran ikan. Salah satu teknologi yang digunakan adalah smart packaging. Smart packaging sendiri adalah kemasan yang dapat memantau perubahan produk baik di dalam  maupun di lingkungan sekitarnya. Pada smart packaging dilengkapi sensor kimia atau biosensor untuk memonitor kualitas dan keamanan makanan mulai dari produsen hingga sampai ke konsumen. Smart packaging dipilih karena lebih simpel dan cepat jika dibandingkan dengan metode lainnya seperti sensori dan kimia.

Smart packaging yang dikembangkan dilengkapi dengan sensor hybrid yang terbuat dari bahan tetraphenylethylene (TPE) dan polyaniline (PANI). Sensor ini menerjemahkan pH ikan menjadi warna yang digunakan sebagai dasar penentuan kesegaran ikan. Sensor ini dapat menampilkan dua macam indikator warna yaitu secara colorimetric dan fluorescent. Sensor ini berbentuk bulat dengan diameter 2 cm yang ditempelkan pada kemasan (packaging). Smart packaging diuji menggunakan ikan jenis red drum. Pengamatan perubahan warna pada sensor dilakukan setiap 2 jam. Perubahan warna ditampilkan dalam bentuk nilai L, a, dan b. Selain itu juga dilakukan pengujian nilai TVB-N (total volatile basic nitrogen) sebagai pembanding pembacaan warna sensor.

Penelitian ini menghasilkan smart packaging yang memiliki mode ganda yang dapat memonitor kesegaran ikan secara cepat, sensitif dan tanpa perlu merusak produk. Keuntungan menggunakan kombinasi PANI dan TPE adalah perubahan warna indikator kesegaran ikan dapat dilihat dalam dua mode yaitu secara langsung dan dengan menggunakan bantuan sinar ultraviolet (UV) yang lebih akurat dan sensitif. Hal ini ditunjukkan dengan nilai regresi linear antara pembacaan warna sensor smart packaging dan TVB rata-rata diatas 0,9.


Penulis : Toni Dwi Novianto - LRMPHP


Senin, 23 November 2020

SPEECTRA, Cara KKP Selamatkan Ikan Endemik

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah menyiapkan fisheries park yang mengusung model pengelolaan kawasan perikanan lahan rawa di Patra Tani, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Model yang diberi nama Special Area for Conservation and Fish Refugia (SPEECTRA) ini dipilih lantaran sesuai dengan tipologi lahan rawa banjiran yang banyak terdapat di Provinsi Sumatera Selatan.

"Model ini kita usung untuk menyelamatkan ikan ekonomis penting seperti ikan belida sumatera (Chitala hypselonotus), ikan gabus (Channa striata), dan ikan toman merah (Channa moruloides)," jelas Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP, Sjarief Widjaja.

Sjarief mengungkapkan, perairan rawa banjiran (flood plain area) mempunyai posisi strategis dan berfungsi sebagai tempat spawning, nursery dan feeding ground untuk ikan. Atas dasar tersebut, dia menilai pemanfaatan rawa banjiran bisa memberikan manfaat dalam pemenuhan sumber pangan sekaligus mencukupi kebutuhan gizi masyarakat dari protein ikan.

"Optimalisasi pengelolaan di perairan rawa dengan cara memaksimalkan fungsi lebung buatan bisa mendukung peningkatan produktivitas rawa banjiran," sambungnya.

Dikatakannya, fisheries park seluas 50 hektare tersebut akan dibuat kolam-kolam dengan luasan masing-masing 1 hektare yang terdiri dari kolam untuk domestikasi, pembesaran serta kolam pemancingan. Tak hanya itu, untuk mencukupi kebutuhan air kolam, dibuat pola buka-tutup pintu air dari Sungai Musi sekaligus agar pada saat-saat tertentu, anakan ikan bisa keluar dari Patra Tani ke sungai.

Sjarief memastikan Speectra akan dikemas dengan gaya menarik dan informatif serta dilengkapi dengan saung-saung pusat informasi tentang ikan, lengkap dengan tanaman asli rawa banjiran seperti meranti.

"Model Speectra ini merupakan yang pertama di Sumsel dan tidak menutup kemungkinan dikembangkan di daerah lain sebagai tempat sumber plasma nutfah lingkungan sekitarnya," jelasnya.

Sementara Kepala Balai Riset Perikanan Perairan Umum dan Penyuluh Perikanan (BRPPUPP) Palembang, Arif Wibowo memaparkan ide kemunculan Speectra dilatarbelakangi oleh kegelisahannya melihat rawa banjiran sebagai ekosistem yang rentan. Akibatnya keanekaragaman ikan lebih cepat mengalami penurunan dibandingkan ekosistem lain.

"Kerusakan lingkungan ini diindikasikan dengan rendahnya keanekaragaman ikan dan besarnya dominasi komunitas ikan oleh spesies ikan kecil," jelasnya.

Arif menambahkan, Speectra sebagai model rehabilitasi sekaligus ekosistem buatan pada daerah rawa yang berupa lebung-lebung. Selain cocok untuk tempat penebaran benih (restocking), kolam-kolam Speectra tersebut bisa menjadi tempat perlindungan atau suaka perikanan bagi ikan perairan umum di daratan.

Menurutnya, hadirnya Speectra menjadi penyeimbang antara konservasi dengan pemanfaatan ekonomi sebagaimana semangat Menteri Edhy Prabowo.

"Pada saat kita buat percontohan seluas 3 hektare, ikan yang masuk kesitu ada ikan Sepat Siam (Trichogaster pectoralis), Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus), Gabus (Channa striata), Betok (Anabas testudineus), Tambakan (Helostoma temminckii), Lele (Clarias spp.), dan Sepatung (Peristolepis fasciatus)," tandas inovator Speectra tersebut.

 

Sumber : KKP