PELATIHAN

LRMPHP telah banyak melakukan pelatihan mekanisasi perikanan di stakeholder diantaranya yaitu Kelompok Pengolah dan Pemasar (POKLAHSAR), Kelompok Pembudidaya Ikan, Pemerintah Daerah/Dinas Terkait, Sekolah Tinggi/ Universitas Terkait, Swasta yang memerlukan kegiatan CSR, Masyarakat umum, dan Sekolah Menengah/SMK

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan

LRMPHP sebagai UPT Badan Riset dan SDM KP melaksanakan riset mekanisasi pengolahan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 81/2020

Tugas Pokok dan Fungsi

Melakukan tugas penelitian dan pengembangan strategis bidang mekanisasi proses hasil perikanan di bidang uji coba dan peningkatan skala teknologi pengolahan, serta rancang bangun alat dan mesin untuk peningkatan efisiensi penanganan dan pengolahan hasil perikanan

Kerjasama

Bahu membahu untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan dengan berlandaskan Ekonomi Biru

Sumber Daya Manusia

LRMPHP saat ini didukung oleh Sumber Daya Manusia sebanyak 20 orang dengan latar belakang sains dan engineering.

Kamis, 23 Desember 2021

LRMPHP Kembangkan Mesin Penggiling Bertingkat untuk Pembuatan Tepung Ikan

Tepung ikan memiliki potensi pasar yang cukup luas di Indonesia dengan permintaan mencapai 0,25 - 0,75 juta ton per tahunnya. Tetapi menurut Anam & Indarto (2018) yang dimuat dalam Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat menyampaikan bahwa sekitar 70% kebutuhan tersebut dipenuhi dari impor, yang artinya hanya sekitar 30% dipenuhi dari dalam negeri. Kondisi tersebut salah satunya disebabkan karena kurangnya volume produksi tepung ikan lokal dan juga kualitasnya masih rendah. 

Telah banyak dilakukan usaha untuk meningkatkan produksi tepung ikan lokal supaya dapat mengurangi ketergantungan dari impor. Salah satu usaha yang dilakukan adalah memanfaatkan ikan dari hasil tangkap samping yang tidak memilki nilai ekonomis tinggi dan belum termanfaatkan. Selain itu, pengembangan peralatan produksi yang memadai perlu dilakukan sehingga dapat meningkatkan volume dan kualitas tepung ikan lokal. Pengolah tepung ikan lokal sebagian besar masih menggunakan peralatan yang sederhana dan tradisional. Selain itu proses yang dilakukan juga bervariasi. Seperti disampaikan oleh Erlania (2012) dalam Media Akuakultur, bahwa proses pembuatan tepung ikan di kota Tegal, proses pemasakan bahan baku masih dilakukan dalam wadah perebusan diatas tungku dengan bahan bakar kayu bakar. Kemudian setelah selesai direbus dilakukan penjemuran dibawah sinar matahari. Setelah kering maka dilakukan penggilingan untuk membuat menjadi butiran halus yang siap dipasarkan.

Proses penggilingan merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan tepung ikan. Penggilingan yang dilakukan oleh pengolah lokal biasanya menggunakan alat penggiling daging yang beredar di pasaran. Sebelum dilakukan proses penggilingan, bahan baku dipanaskan melalui proses perebusan atau pemasakan. Kendala yang sering dihadapi biasanya adalah kapasitas wadah / drum perebusan bahan baku yang terbatas, dan sering terjadi macet saat proses penggilingan.

Pada peralatan pengolah tepung ikan hasil rancangbangun Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan (LRMPHP) seperti disajikan pada gambar 1,  proses pemasakan dan penggilingan dilakukan dalam satu alat yaitu menggunakan alat penggiling tepung ikan sistem bertingkat. Fungsi kerja alat ini adalah menggabungkan proses pemasakan dan penggilingan dalam satu alat. Alat terdiri dari dua ekstruder, ekstruder pertama untuk pemasakan, dan ekstruder kedua untuk penggilingan. Pada tahap pertama dilakukan pemanasan bahan baku di dalam ekstruder pertama. Sumber panas diperoleh dari uap boiler yang disalurkan ke barrel ekstruder tersebut. Pada tahap kedua adalah proses penggilingan bahan baku yang masih dalam kondisi panas. Di dalam ekstruder kedua dilengkapi dengan ulir yang berfungsi untuk mendorong ikan ke bagian ujung ekstruder. Bagian ujung ekstruder terdapat pisau yang berfungsi untuk memotong ikan yang akan dikeluarkan dari ekstruder dan die.

Gambar 1. Mesin Penggiling Bertingkat

Hasil uji kinerja alat menunjukkan bahwa nilai rendemen penggilingan sudah cukup baik yaitu diperoleh rendemen optimum 83%. Tetapi nilai kapasitas yang diperoleh masih belum optimal yaitu sebesar 25.68 kg/jam. Kondisi tersebut diduga disebabkan karena terjadi penumpukan bahan pada ujung ekstruder. Penumpukan tersebut disebabkan karena proses pengangkutan tidak seimbang dengan proses penggilingan atau pemotongan di ujung ekstruder. Selain itu diduga juga disebabkan karena proses pemasakan yang kurang optimal dan ketidakseragaman karakteristik bahan baku ikan yang digiling.

Penulis : Wahyu Tri H. - LRMPHP

Rabu, 22 Desember 2021

Membuat Cendol Dawet dari Rumput Laut

Dawet, ya…dawet atau cendol, siapa yang tidak mengenal minuman yang satu ini. Disaat panas terik menyengat, segelas es cendol dawet sangat mneyegarkan untuk sekedar pengusir rasa haus dan dahaga. Bahkan minuman ini juga dikenal lewat lagu mendiang Didi Kempot yang sempat hits beberapa waktu yang lalu. 

Ilustrasi minuman dawet 

Dawet biasanya terbuat dari tepung beras, tepung Hun Kwe dan agar-agar jeli. Beberapa bahan seperti pewarna kadang ditambahkan untuk menambah variasi rasa atau sekedar penggugah selera ataupun pembeda, seperti dawet ireng yang khas dari Purworejo menggunakan merang yang dibakar sebagai pewana alaminya. 

Ternyata, rumput laut jenis E. cottoni juga dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan cendol dawet lho. Rumput laut diketahui banyak mengandung PUFA (Polyunsaturated Fatty Acid – asam lemak tak jenuh), serat dan diketahui memiliki efek sebagai antioksidan, antimutagenik, anti tumor dan dapat membantu metabolisme lipid dalam tubuh. Lalu bagaimana cara membuatnya? 

Pertama-tama yang harus dilakukan adalah menyiapkan bahan dan alatnya terlebih dahulu yaitu : rumput laut Eucheuma cottoni kering, tepung beras, Nutrijell, tepung Hun Kwe, air, kelapa, gula merah, gula pasir, garam, daun pandan. Sedangkan alat yang digunakan antara lain panci, spatula, kompor, timbangan, gelas ukur, cetakan dawet, baskom, pisau, telenan, mangkok, dan pengaduk kayu. Untuk adonan dibuat 2 macam, adonan pertama adalah bubur rumput laut dan yang kedua yaitu adonan dawet pada umumnya. Bubur rumput laut dibuat dengan cara rumput laut kering dicuci dibawah air mengalir sampai bersih lalu dipotong dengan ukuran panjang 0,5 cm sampai 1 cm. Rumput laut yang telah dipotong dimasukkan ke dalam panci, ditambah air sampai terendam, lalu direbus dengan api sedang sambil terus diaduk hingga mendidih. Setelah mendidih, api segera dimatikan dan dibiarkan hingga dingin. Adonan dawet dibuat dengan cara tepung Hun Kwe dicampur dengan tepung beras dan bubuk agar-agar jeli terlebih dahulu di dalam mangkok. Setelah tepung tercampur rata, dilarutkan dengan air sambil diaduk hingga terlarut sempurna. Selanjutnya larutan tepung tersebut dimasukkan ke dalam panci dan dimasak dengan api kecil sambil terus diaduk hingga menjadi adonan dawet setengah matang. 

Berdasarkan tulisan Illiyatus Sholiha berjudula Pengolahan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Menjadi Dawet Rumput Laut dalam Jurnal Biologi dan Pembelajarannya yang terbit pada April 2019 lalu, menyatakan bahwa campuran yang memberikan rasa, aroma dan tekstur dawet rumput laut terbaik adalah 500 gr adonan dawet dan 250 gr adonan bubur rumput laut. Selanjutnya campuran kedua adonan dimasak hingga matang dan menjadi adonan dawet rumput laut yang siap untuk dicetak. Adonan dicetak dalam keadaan panas menggunakan cetakan dawet di atas air matang yang sudah diberi es. Sebagai minuman, dawet rumput laut disajikan dengan santan dan larutan gula merah. Cukup mudah bukan pembuatan dawet rumput laut ini.

Dawet rumput laut di marketplace

Nah, untuk yang tidak ada waktu membuat sendiri, dawet ini sudah mulai banyak tersedia di supermarket kesayangan anda bahkan beberapa sudah ada yang menjual di lapak marketplace secara online. 


Penulis : Iwan Malhani Al Wazzan - LRMPHP

PENGERINGAN PAKAN IKAN DENGAN PENGERING ROTARY DRIER

Ketersediaan pakan dalam jumlah dan kualitas yang memadai mutlak dibutuhkan untuk keberhasilan suatu usaha ataupun penelitian budidaya perikanan. Pemberian pakan berbentuk pellet adalah pilihan yang baik, karena pada pakan pellet didalamnya telah terkandung bemacam-macam bahan pakan dalam kondisi homogen. Namun karena bersifat porous dan bila kadar airnya tinggi teksturnya menjadi tidak padat sehingga mudah rusak, hancur ataupun mudah berjamur. Agar tidak mudah hancur atau berjamur serta memperpanjang umur simpan maka kadar air pellet harus kurang dari 15%. Untuk menurunkan kadar air dapat dilakukan dengan cara pengeringan. Pengeringan yang paling murah menggunakan sinar matahari (dijemur), tetapi bila tidak memungkinkan (cuaca hujan) bisa juga menggunakan alat mesin pengering. Kadar air yang diperlukan dalam pakan ikan adalah antara 10-12 % (SNI 7674:2013) dan SNI 7768:2103 yaitu kurang dari 12%. 

Alternatif pengeringan antara lain diujicobakan oleh LRMPHP tahun 2020 yang dimuat dalam Prosiding Seminar Nasional Perikanan UGM Tahun 2020. Ujicoba mesin pengering rotary drier dilakukan untuk mengeringkan pakan ikan terapung setelah pencetakan ekstruder. Bahan yang digunakan adalah pakan ikan terapung setelah proses pencetakan ekstruder sejumlah 1485 gram seperti pada Gambar 1. Mesin rotary drier yang digunakan (Gambar 1) memiliki panjang 210 mm, diameter 305 mm, pemanas spesifikasi 900 watt dan dilengkapi dengan kipas 0,5 A dengan flow 244 CMM atau kecepatan 14,7 km/jam. Mesin dilengkapi juga hopper input, hopper output dan motor listrik 1 HP yang diatur pada putaran 29 rpm.

Gambar 1. Bahan pakan ikan yang dikeringkan dan rotary drier

Hasil pengujian pengeringan pakan ikan terapung dengan mesin rotary drier terutama berupa parameter waktu pengeringan, rendemen, kadar air pakan ikan dan daya listrik yang dibutuhkan. Rendemen yang dihasilkan total 5,3%. Rendemen ini terdiri dari pakan yang tersisa di rotary drier dan sebagian jatuh. Angka rendemen masih cukup tinggi sehingga dapat dilakukan perbaikan antara lain dengan mengatur kemiringan silinder sehingga pakan ikan dapat keluar dengan lebih mudah dari silinder rotary drier. Hasil lain yaitu suhu ruang pengering juga cukup rendah antara 35,9 - 38,3 °C sehingga relatif aman. Kadar air berkurang dari 13,582% menjadi 11,383 % setelah 6 siklus seperti pada Gambar 2. Mesin rotary drier LRMPHP ini dapat mengurangi kadar air pakan yang cukup baik yaitu sebesar 2,469%. 

Adapun kebutuhan arus dan daya listrik masing-masing 6,3 A dan 1421,03 watt. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk total 6 siklus adalah 19 menit 21 detik yang mana relatif cukup cepat. Dengan hasil-hasil tersebut dan bila dibandingkan dengan penelitian-penelitian lainnya, pengeringan dengan rotary drier ini masih dapat dipertimbangkan sebagai alternatif/tambahan pengeringan pakan ikan terapung.

Gambar 2. Kadar air pakan ikan pada pengujian pengeringan dengan rotary drier


 Penulis : Ahmat Fauzi - LRMPHP


Selasa, 21 Desember 2021

Maggot, Alternatif Sumber Protein untuk Pakan Ikan

Sumber : Chia et al dalam PLOS ONE https://doi.org/10.1371/journal.pone.0206097

Permasalahan pakan ikan merupakan masalah yang selalu dialami para pembudidaya ikan. Hal ini disebabkan karena harga pakan di pasaran yang mahal karena bahan baku pembuatan pakan masih impor. Menanggapi hal tersebut, pemerintah sebenarnya sudah turun tangan dengan terus mencari cara supaya bisa menghasilkan pakan ikan yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Salah satu cara yang ditempuh adalah memanfaatkan bahan baku pakan ikan alternatif yang bisa ditemukan di Indonesia sebagai pengganti tepung ikan yang sebagian besar masih impor.

Maggot merupakan salah satu bahan baku alternatif yang cukup potensial. Hal ini karena maggot memiliki kandungan protein yang tinggi, harganya murah dan mudah diadopsi pengembangannya. Selain itu keunggulan lainnya adalah maggot bisa diproduksi dalam waktu singkat dengan jumlah yang diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan ikan.

Menurut Cickova et al (2015) dalam Amandanisa & Suryadharma, 2020 yang dimuat dalam Jurnal Pusat Inovasi Masyarakat menyampaikan bahwa maggot dengan nama latin Hermetia illucens merupakan organisme yang berasal dari lalat Black Soldier Fly (BSF). Maggot dihasilkan pada metamorfosis fase kedua setelah fase telur dan sebelum fase pupa yang nantinya akan menjadi BSF dewasa. Lalat BSF bukan merupakan vector penyakit. BSF berasal dari Amerika dan selanjutnya tersebar ke wilayah subtropis dan tropis di dunia.

Maggot dapat dibudidayakan dengan memanfaatkan sampah organik yang ada di lingkungan kita. Sampah organic akan terdegradasi dan dapat digunakan sebagai pupuk, sedangkan maggot dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein pakan ikan dan ternak. Berdasarkan informasi dari Widiarti (2012) yang dimuat dalam Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan dan juga dalam Agroinovasi - Badan Litbang Pertanian (2011) bahwa sampah organik dari sampah rumah tangga proporsinya dapat mencapai kisaran 70%. Jumlah sampah organic yang cukup besar tersebut sangat potensial dimanfaatkan sebagai media budidaya maggot. Bahkan mungkin setiap kampong bisa melakukan pengumpulan sampah organic yang dapat dimanfaatkan sebagai media maggot. Maggot yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk pakan sumber protein pakan dan hasil degradasi sampah digunakan untuk pupuk.

Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa maggot potensial sebagai pengganti protein pakan ikan. Berdasarkan informasi dari Elwert et al (2010) dalam In: Tagung Schweine-und Gefugelernahrung, menyampaikan bahwa maggot (Hermetia illucens) memiliki potensi besar untuk substitusi tepung ikan karena kandungan protein yang cukup tinggi (30 – 50 %). Sedangkan menurut Fahmi et al (2009) yang dimuat dalam J. Ris. Akuakultur menyatakan bahwa kandungan protein maggot ukuran kecil (10-15 mm) mencapai 60,2 %, dan maggot ukuran besar (20-25 mm) kandungan proteinnya 32,3%.

Pada penelitian uji coba pertumbuhan ikan yang dilakukan oleh Fahmi et al. (2009) dalam J. Ris. Akuakultur, menyampaikan bahwa pada uji coba pertumbuhan ikan, pemanfaatan maggot sebagai suplemen pakan ikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ikan Balashark. Dampak penggunaan maggot juga terlihat pada peningkatan status kesehatan ikan. Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Priyadi et al (2009) yang disampaikan dalam J. Ris. Akuakultur juga menyatakan bahwa substitusi maggot sebagai sumber protein pengganti tepung ikan sangat potensial. Dari hasil penelitian yang dilakukan direkomendasikan bahwa substitusi maggot sebagai sumber protein pengganti tepung ikan tidak lebih dari 16,47%.

Bahkan berdasarkan informasi yang diperoleh dari Mongabay 2020, menyatakan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan fokus untuk menjadikan Maggot sebagai bahan baku alternatif unggulan untuk pembuatan pakan ikan, dan sudah menggandeng beberapa perusahaan yang tertarik untuk melaksanakan produksi Maggot.

Penulis : Wahyu Tri H. - LRMPHP

Alga, Alternatif Sumber Energi Terbarukan Yang Belum Tergarap

Perubahan iklim semakin hari kian mengkhawatirkan. Peningkatan tinggi permukaan air laut menyebabkan abrasi di banyak garis pantai di dunia, bahkan daerah pesisir yang dulu tidak pernah terkena banjir rob air laut saat ini mulai terkena. Berbagai penelitian juga menyebutkan bahwa suhu bumi semakin meningkat akibat efek rumah kaca hasil dari pencemaran udara. Hal ini membuat es abadi di kutub utara dan selatan mencair dan makin menambah ketinggian air laut. Jika hal ini tidak diatas maka bumi akan mengalami kerusakan ekosistem yang masif yang dapat mengganggu kehidupan biota didalamnya termasuk manusia. Salah satu hal yang dituding sebagai biang kerok terhadap perubahan iklim ini adalah masifnya penggunaan bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil adalah sumber energi tidak terbarukan dan tidak berkelanjutan yang digunakan sebagai bahan bakar motor untuk berbagai tujuan seperti transportasi, pembangkit listrik, dan pertanian. 

Kebutuhan bahan bakar fosil untuk transportasi darat di masa depan sudah hampir dapat dipastikan berkurang karena masifnya pengembangan electric vehicle (EV). Diawali dengan pengembangan mobil listrik Tesla yang begitu fenomelal seolah menjadi starting point pengembangan electric vehicle bagi perusahaan otomotif besar lain seperti Hyundai, Nissan bahkan Xiaomi yang selama ini bergerak dibidang teknologi mobile ikut meramaikan pengembangan kendaraan listrik. akan tetapi, listrik yang digunakan untuk menggerakan kendaraan-kendaraan tersebut bukan merupakan energi independen yang artinya baterai yang digunakan pada kendaraan tersebut harus tetap dicharge ataupun disuplai oleh pembangkit listrik. Pada mobil elektrik murni maka baterai harus diisi kembali setelah menempuh perjalanan sekian kilometer dan pada kendaraan hybrid ada yang menggunakan mesin berbahan bakar fosil sebagai pembangkit listrik untuk mengisi baterai yang dimilikinya. Energi listrik yang dihasilkan oleh pembangkit ini sebagian dihasilkan dari alam dan sebagian besar masih dihasilkan dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Artinya, meskipun kebutuhan akan bahan bakar fosil untuk transportasi darat berkurang akan tetapi kebutuhan untuk pembangkit listrik bisa jadi meningkat. Kebutuhan bahan bakar fosil untuk transportasi udara dan laut masih tetap tinggi karena pengembangan ke arah kendaraan elektrik belum begitu berkembang. Penggunaan bahan bakar fosil yang tinggi dihadapkan pada permasalahan menipisnya cadangan bahan bakar fosil yang ada dan dunia ditantang untuk mencari bahan bakar alternatif. 

Salah satu energi alternatif yang sudah dikembangkan adalah biodiesel. Secara global, biodiesel sebagian besar diproduksi dari minyak sawit (31%), kedelai (27%), minyak lobak (20%), dan minyak goreng bekas (10%). Di Uni Eropa, biodiesel dihasilkan dari minyak lobak (44%), minyak sawit (29%), minyak goreng bekas (15%), dan minyak kedelai (5%) dan sisanya berasal dari bunga matahari, kelapa, kacang tanah, rami, jarak pagar, jagung dan alga.

Dalam tulisan berjudul The Perspective of Large-Scale Production of Algae Biodiesel yang dipublikasikan pada 2020, Bosnjakovic dan Sinaga menyatakan bahwa penggunaan alga sebagai bahan baku produksi biodiesel memiliki hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman darat sebagai bahan bakunya. Beberapa spesies alga sperti Schizochytrium sp., Nitzschia sp., dan Botyococcus braunii mengandung lebih dari 50% minyak dalam biomassanya dan dapat diekstrak dan diproses menjadi babahn bakar. Beberapa bahan bakar yang dapat diproduksi dari alga diantaranya bioetanol, biodiesel, metana, kerosen, biobutanol, biogas dan biodiesel ramah lingkungan. 

Flow chart proses pembuatan biodiesel dari alga

Proses pembuatan biofuel dari alga diawali dengan penumbuhan dan produksi alga. Hal yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah kecukupan nutrient, CO2 dan sinar matahari. Seperti tanaman pada umumnya, alga membutuhkan sinar matahari dan CO2 untuk melakukan fotosintesis dan nutrien untuk pertumbuhannya. Tahap berikutnya adalah seleksi dan pemanenan. Seleksi dilakukan untuk memilah alga yang memiliki kandungan biofuel yang tinggi dalam biomassanya. Setelah dilakukan pemanenan, alga kemudian dikeringkan dan lemak diekstrak dengan cara merusak sel secara kimiawi maupun mekanis. Tahap selanjutnya adalah memisahkan lemak dengan asam lemak untuk diproses menjadi biodiesel. 


Penulis : Iwan Malhani Al Wazzan - LRMPHP



Senin, 20 Desember 2021

Pengawasan Otomatis Mutu Daging Ikan Menggunakan Machine Vision

Karena sifat daging ikan yang cepat mengalami kebusukan oleh proses biokimiawi maupun aktifitas bakteri, dalam industri perikanan selalu dibutuhkan pengawasan yang ketat terhadap mutu ikan sepanjang proses produksi, contohnya adalah yang berlangsung pada industri tuna dan salmon segar.

Pengujian mutu produk tersebut biasanya merupakan pekerjaan yang terus menerus atau berulang-ulang dan sifatnya sangat subjektif ditentukan oleh seorang ahli atau pengawas mutu terlatih. Seorang ahli mutu biasanya menentukan kualitas produk ikan segar melalui panca inderanya, dengan cara dilihat, dicium atau dirasa. Oleh karenanya, kualitas mutu ikan segar menjadi sangat subjektif karena dipengaruhi oleh kemampuan pengawas mutu, dan juga dipengaruhi faktor lainnya seperti kelelahan, dan kesalahan manusia.

Mutu ikan segar sebenarnya berhubungan erat dengan warna dan penampakan dagingnya. Hal ini menjadikan peluang untuk pemanfaatan aplikasi machine vision dalam industri produk ikan segar, yaitu untuk mendapatkan hasil penilaian kualitas produk yang lebih cepat dan lebih objektif. Aplikasi serupa sebenarnya juga telah dikembangkan pada produk-produk daging sapi atau unggas, seperti yang dilakukan oleh Garavand dkk. (2019) dalam menentukan kualitas daging ayam potong beku, yaitu menggunakan informasi perubahan warna produk yang disimpan selama 13 hari. Informasi warna daging ayam yang diambil sebagai dataset oleh Garavand dkk. yaitu rentang warna red, green, blue (RGB) dan L*A*B*. Kemudian untuk produk ikan segar, Garavand (2019) dkk. juga melakukan hal yang sama untuk menentukan kesegaran ikan mas selama penyimpanan dingin. Sedangkan Lugatiman dkk. (2019) melakukannya untuk menentukan kesegaran ikan tuna ekor kuning.

Informasi warna daging ikan yang diperoleh melalui kamera selanjutnya akan dibaca oleh mesin komputer sebagai bentuk angka-angka. Setelah informasi warna didapatkan melalui proses akuisisi gambar, biasanya dilanjutkan dengan proses pengkelasan (clustering) informasi warna tersebut, misalkan menjadi kelas “segar”, “kurang segar” dan “tidak segar” dengan menggunakan algoritma seperti  support vector machine (SVM), K-nearest neighbor (KNN) atau artificial neural network (ANN).

Contoh hasil ekstraksi fitur warna daging ikan (a) salmon dan (b) tuna (sumber: Medeiros dkk., 2021)

Semakin banyak dataset gambar daging ikan yang dilatihkan menggunakan algoritma machine learning (ML) maka semakin baik atau akurat model yang dihasilkan. Model dari hasil pelatihan dataset inilah yang kemudian diinstal atau di deploy pada mesin atau komputer untuk menentukan mutu daging ikan pada proses produksi. 

Ilustrasi inspeksi kualitas daging ikan menggunakan machine vision (sumber: www.toptal.com)

Dengan menggunakan teknologi machine vision, maka inspeksi mutu produk ikan yang dihasilkan oleh industri menjadi lebih terjamin dan lebih seragam karena pengawasan dilakukan secara objektif serta meminimalkan kekeliruan akibat kesalahan manusia.


Penulis: Bakti Berlyanto Sedayu - LRMPHP


Sabtu, 18 Desember 2021

Pengaruh Penambahan Jumlah Gliserol terhadap Kadar Air dan Sifat Fisik Pellet Bioplastik Berbahan Dasar Karagenan

Timbunan sampah tiap orang di Indonesia diperkirakan akan mencapai 2,1 kg/hari pada tahun 2020, disampaikan oleh Saputro pada tahun 2017 dalam Jurnal Kimia dan Pendidikan Kimia. Sampah plastik susah untuk diurai organisme pengurai, membutuhkan waktu ratusan tahun agar bisa terurai sempurna. Selain itu, sampah plastik dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan, diantaranya yaitu mengenai marine debris. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan bioplastik, yaitu plastik yang sebagian atau hampir seluruh komponennya berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui. 

Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa jumlah produksi rumput laut di Indonesia tahun 2019 mencapai 9.746.946 ton. Karaginan, salah satu hasil olahan rumput laut, menunjukkan kemampuan pembentukan film yang baik dan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioplastik.

Pada tahun 2020, LRMPHP telah menciptakan serangkaian alat pembuat biji/pellet bioplastik, yaitu mixer, single screw extruder, dan pelletizer. 

Rangkaian alat pembuat biji/pellet bioplastik(a) Single screw extruder, (b) conveyor dan (c) pelletizer. (Sumber : Wullandari, et al., 2021. Prosiding Seminar Nasional Tahunan XVIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan)

Untuk mendukung performansi alat tersebut, peneliti LRMPHP telah melakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan jumlah gliserol terhadap kadar air dan sifat fisik pellet bioplastik berbahan dasar karagenan. Tahapan pembuatan pellet bioplastik yaitu : pencampuran dengan food processor, ekstrusi menggunakan single screw extruder hasil rancangan Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan (LRMPHP), dan pemotongan dengan pelletizer hasil rancangan LRMPHP. Variasi penambahan gliserol sebagai plasticizer masing – masing sebanyak 20%, 30% dan 40%, sedangkan campuran tepung Refined Carrageenan (RC) dan Poli Vinil Alkohol (PVA) masing – masing sebanyak 80%, 70% dan 60%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan jumlah gliserol tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar air dan diameter pellet bioplastik namun berpengaruh secara nyata terhadap panjang dan warna pellet bioplastik. 

Pellet bioplastik dengan formulasi RC : PVA : gliserol = (a) 30% : 30% : 40%, (b) 35% : 35% : 30% dan (c) 40% : 40% : 20%



Penulis : Putri Wullandari - LRMPHP