PELATIHAN

LRMPHP telah banyak melakukan pelatihan mekanisasi perikanan di stakeholder diantaranya yaitu Kelompok Pengolah dan Pemasar (POKLAHSAR), Kelompok Pembudidaya Ikan, Pemerintah Daerah/Dinas Terkait, Sekolah Tinggi/ Universitas Terkait, Swasta yang memerlukan kegiatan CSR, Masyarakat umum, dan Sekolah Menengah/SMK

Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan

LRMPHP sebagai UPT Badan Riset dan SDM KP melaksanakan riset mekanisasi pengolahan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 81/2020

Tugas Pokok dan Fungsi

Melakukan tugas penelitian dan pengembangan strategis bidang mekanisasi proses hasil perikanan di bidang uji coba dan peningkatan skala teknologi pengolahan, serta rancang bangun alat dan mesin untuk peningkatan efisiensi penanganan dan pengolahan hasil perikanan

Kerjasama

Bahu membahu untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan dengan berlandaskan Ekonomi Biru

Sumber Daya Manusia

LRMPHP saat ini didukung oleh Sumber Daya Manusia sebanyak 20 orang dengan latar belakang sains dan engineering.

Kamis, 30 Desember 2021

Mengetahui Jenis Ikan dengan Menggunakan Smartphone

Beragamnya jenis ikan di perairan Indonesia menyebabkan sulitnya masyarakat untuk dapat mengenali ikan-ikan yang ditemui di pendaratan ikan atau di pasar. Kemudian juga dengan penamaan yang berbeda terhadap jenis ikan yang sama pada tiap daerah (nama lokal), ataupun sebaliknya, yaitu penamaan yang sama terhadap ikan-ikan dari jenis yang berbeda, menambah kesulitan bagi masyarakat umum untuk mengetahui jenis ikan yang dibeli atau dikonsumsi dengan pasti. Demikian halnya kesulitan oleh petugas dalam pencatatan produksi perikanan dan penghitungan stok ikan nasional dengan valid.

Hingga saat ini, untuk memastikan jenis ikan apa yang didapatkan masih dilakukan secara manual dengan mengandalkan buku atau panduan konvensional klasifikasi jenis ikan, atau dilakukan oleh seorang taksonomis. Hal ini menjadi tidak praktis serta memungkinan terjadinya kesalahan dalam menentukan jenis ikan yang didapatkannya, yaitu akibat objektivitas individu. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di tersebut, dibutuhkan suatu teknologi yang mampu mengenali jenis ikan secara objektif, akurat, dan dapat digunakan dengan mudah oleh masyarakat umum.

Aneka ragam jenis ikan (sumber: iStock)

Teknologi computer vision yang merupakan cabang dari sistem kecerdasan buatan (AI) kini berkembang dengan pesat terutama untuk mengenali berbagai macam objek. Peneliti Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan (LRMPHP) kini juga tengah mengembangkan teknologi ini untuk mengenali berbagai jenis ikan di Indonesia. Pada sistem aplikasi computer vision, komputer dapat mengenali suatu objek berdasarkan citra ikan yang didapat melalui perangkat kamera, yaitu dengan cara komputasi piksel-piksel penyusun citra ikan yang meliputi bentuk, warna dan tekstur yang ditangkap oleh layar monitor.

Berbeda halnya dengan cara kerja penglihatan manusia, gambar ikan yang telah dikomputasi oleh mesin akan membentuk suatu pola tertentu yang kemudian dikenali oleh mesin. Dengan kata lain, mesin dilatih mengenali pola berbagai jenis ikan berdasarkan gambar ikan-ikan tersebut. Semakin banyak gambar ikan yang dilatihkan ke mesin, maka akan semakin baik pula mesin dapat mengenali jenis ikan. Hasil dari komputasi atau pelatihan gambar-gambar ikan terhadap mesin tersebut didapatkan sebagai sebuah model, dan model inilah yang selanjutnya dapat dipasang (deploy) ke dalam perangkat lunak lainnya seperti Android.

Aplikasi pengenalan jenis ikan yang dikembangkan di LRMPHP

Melalui aplikasi computer vision, masyarakat akan dengan mudah mengenali jenis-jenis ikan yang ditemuinya, yaitu hanya dengan menjalankan aplikasi berbasis computer vision yang dipasang dalam sistem android. Hanya dengan mengarahkan kamera ponselnya ke objek ikan yang ingin diketahui atau dengan cara mengambil objek gambarnya, selanjutnya sistem aplikasi secara cepat (real-time) akan menayangkan informasi jenis ikan dan informasi lainnya dalam tampilan layar ponsel. Praktis bukan?


Penulis : Bakti Berlyanto Sedayu - LRMPHP


 



Rabu, 29 Desember 2021

Penggunaan Sensor DO Optic untuk Kolam Budidaya Udang

Dalam budidaya udang, kontrol terhadap kandungan oksigen terlarut/Dissolved Oxygen (DO) merupakan proses sangat penting agar dihasilkan udang dengan pertumbuhan optimal. Oleh karenanya sensor DO menjadi alat yang tidak tergantikan dalam penentuan nilai DO pada air budidaya. Saat ini sebagian teknisi budidaya menggunakan sensor berjenis membrane- polarographic untuk menentukan DO kolam budidaya mereka. Meskipun selama ini sensor jenis membrane masih handal untuk kondisi ideal air tambak namun beberapa kondisi menyebabkan sensor ini butuh perbaikan.

Sensor DO tipe membran adalah alat berbasis elektrokimia yang menggunakan gas permiabel polimer sebagai membran untuk mengisolasi elektrolit sensor dari sampel. Isolasi ini menjadikan sensor hanya meloloskan oksigen sehingga bisa bereaksi dengan katoda. Karenanya laju difusi oksigen dipengaruhi oleh tekanan parsial sampel, bahan dan ketebalan membran. Diungkapkan dalam White Paper Mettler Toledo, beberapa kelemahan dalam penggunaan sensor tipe membrane adalah pertama, secara umum sensor ini butuh waktu lama untuk turun dari nilai DO tinggi (downscale). Hal ini karena setiap oksigen yang terakumulasi dalam elektrolit selama kalibrasi atau saat pengukuran air dengan DO tinggi membutuhkan waktu lama untuk berdifusi keluar melewati membran. Sehingga pembacaan DO cenderung akan tetap tinggi meskipun digunakan untuk sampel DO rendah. Kedua, pada arus atau gerakan air yang rendah, oksigen tidak semuanya bisa melewati membran sehingga bila air dengan DO tinggi namun cendurung diam maka nilai yang terbaca menjadi lebih rendah dibanding kondisi riil. Ketiga, membran sensor sangat rentan terhadap kondisi air, kondisi air yang pekat seperti air tambak akan menyebabkan membran mudah tertutup dan pembacaan DO akan salah. 

DO tipe optik bisa menjadi pilihan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sensor ini menggunakan teknologi yang dikenal sebagai pemudaran pijaran (fluorescence quenching) untuk menentukan kandungan DO. Fluorescence ialah fenomena dimana material menyerap cahaya dengan panjang gelombang tertentu dan kemudian memancarkan cahaya tersebut dengan panjang gelombang yang berbeda. Sedangkan Fluorescence quenching adalah laju penurunan fluorescence yang disebabkan material lainnya dalam hal ini adalah oksigen. Tingkat pemudaran (quenching) tergantung pada jumlah oksigen yang terkandung dalam air sampel. Quenching sendiri dikuantifikasi melalui perhitungan nilai perbedaan cahaya yang diserap dengan cahaya yang dipancarkan. Seperti terlihat pada Gambar 1. sinar hijau yg dikeluarkan oleh LED di pancarkan ke chromophore dalam OptoCap melalui kabel serat optic. Fluoresensi merah yang kembali juga melewati serat optik ke detektor. Berdasarkan waktu dan intensitas (pergeseran fase) antara dua sinyal cahaya, maka nilai oksigen terlarut diperoleh. Hal ini dijelaskan oleh Feng Weiwei dkk pada tahun 2013 dalam Journal of optic dengan judul : An optical sensor for monitoring of dissolved oxygen based on phase detection

Gambar 1. Skema prinsip kerja sensor tipe optik (sumber: White Paper. Minimize Power Plant Corrosion with improved optical DO Technology. Mettler Toledo)

Yaoguang Wei dkk pada tahun 2019, dalam Journal Sensor berjudul Review of Dissolved Oxygen Detection Technology: From Laboratory Analysis to Online Intelligent Detection, menjelsakan keunggulan dari sensor tipe optik antara lain pertama tidak diperlukan aliran atau gerakan air sampel. Karena sensor optik tidak memasukkan sampel air, maka tidak diperlukan oksigen yang stabil di ujung sensor. Ini memungkinkan penggunaan sensor optik dalam dasar kolam dimana udang lebih banyak tinggal. Kedua, minim pemeliharaan. Titik ujung sensor adalah satu-satunya bagian yang bersentuhan dengan air dan didesain untuk pemakaian terus-menerus. Sensor juga tidak menggunakan membran sehingga tidak ada yang perlu diganti secara regular. Pemliharaan hanya dilakukan dengan membersihkan ujung sensor dari kotoran yang menempel. Ketiga, tidak diperlukan kalibrasi.  Sensor DO optik telah dikalibrasi sebelumnya dan tidak perlu kalibrasi lagi sebelum penggunaan. Hal ini juga mengurangi down-time selama pemakaian.

Namun demikian sensor tipe optik juga memiliki kelemahan yaitu titik sensor berukuran kecil dan halus sehingga ditangani dengan hati-hati. Paparan alkohol konsentrasi tinggi atau senyawa organik tertentu juga dapat menyebabkan kerusakan. Sensor optik harganya lebih mahal dibandingkan sensor membrane dan meskipun telah ditemukan lebih dari 20 tahun yang lalu namun sensor optik relative masih baru dipasaran dan banyak pengguna belum terbiasa menggunakannya.

Berdasarkan uraian tersebut, untuk mengukur DO air kolam tambak udang lebih baik menggunakan sensor DO tipe optik karena mempertimbangkan kondisi airnya yang pekat, salinitas tinggi serta mengandung bahan organik.


Penulis : Arif Rahman Hakim - LRMPHP


Selasa, 28 Desember 2021

Cara Mudah Membuat Pupuk Cair Rumput Laut

Bagi masyarakat pesisir rumput laut sudah sejak lama dimanfaatkan, yaitu biasanya dijadikan sebagai kudapan. Meski terlihat seperti tumbuhan, sebenarnya rumput laut merupakan jenis alga karena tidak memiliki struktur tubuh yang lengkap seperti tanaman pada umumnya. Saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil dan pengekspor rumput laut terbesar di dunia.

Selain dapat dimanfaatkan sebagai makanan, sebenarnya rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman. Karena talus rumput laut kaya akan unsur hara yang diserap dari lingkungan hidupnya, serta memiliki kandungan hormon pemacu pertumbuhan yang sangat tinggi. Hal ini seperti dilaporkan oleh Sedayu dkk. (2013) yang mendapati kandungan tinggi hormon auksin, giberelin, dan sitokinin dalam cairan rumput laut (SAP). Namun sayangnya, penggunaan pupuk rumput laut masih belum banyak dilakukan atau dikomersialkan di Indonesia.

Pembuatan pupuk rumput laut sebenarnya cukup mudah, dan dapat dilakukan oleh rumah tangga. Beberapa cara pembuatan pupuk rumput laut, antara lain:

Cara pertama, rumput laut segar dipotong-potong kemudian direbus menggunakan air destilata, setelah itu air rebusannya disaring seperti yang dilakukan oleh Bhosle dkk. (1975). Air hasil saringan mengandung seluruhnya ekstrak rumput laut yang dapat diaplikasikan langsung ke tanaman.

Cara kedua dilaporkan oleh Challen dan Hemingway (1966), yaitu seperti halnya cara pertama namun berasal dari rumput laut yang telah dikeringkan. Rumput laut kering digiling menjadi tepung kemudian dimasukan kedalam air destilata dan didiamkan selama beberapa waktu. Campuran rumput laut tersebut kemudian dipanaskan hingga mendidih kemudian didiamkan lagi untuk beberapa waktu. Setelah itu campuran disaring menggunakan kain saring untuk menghilangkan ampas/padatan. Sedangkan cairan hasil saringan disentrifugasi untuk memisahkan padatan yang masih terikut. Untuk aplikasi ke tanaman, cairan ekstrak rumput laut yang didapatkan biasanya diencerkan menggunakan air terlebih dahulu.

Sedangkan cara ketiga seperti yang dilakukan oleh Sedayu dkk (2014). Rumput laut segar dicuci bersih menggunakan air keran kemudian digiling menggunakan grinder hingga lumat. Rumput laut yang telah digiling tersebut kemudian ditambahkan air dan juga ditambahkan daging ikan rucah yang telah dihaluskan untuk meningkatkan unsur nitrogennya. Selanjutnya campuran rumput laut di fermentasi atau dikompos dalam wadah tertutup selama beberapa hari. Cairan ekstrak rumput laut hasil pengomposan rumput laut dapat diambil melalui pipa yang dipasang pada blong pengomposan, dan untuk aplikasi penyemprotan ke tanaman perlu diencerkan dengan air terlebih dahulu.

Pupuk cair rumput laut dari jenis Eucheuma cottonii

 

Berbagai hasil penelitian telah membuktikan bahwa pupuk cair rumput laut dapat mempercepat pertumbuhan tanaman, mempercepat tumbuhnya buah, bahkan membuat hasil panen holtikultura meningkat. Pupuk cair rumput laut juga memiliki khasiat tinggi untuk digunakan pada tanaman bunga. Dengan mudahnya cara membuat pupuk rumput laut seperti yang telah diterangkan di atas, maka kita bisa membuat sendiri pupuk cair rumput laut untuk tanaman atau kebun kita di rumah.

Perbandingan tanaman yang tidak diberi cairan ekstrak rumput laut (A) dan yang diberi (B)


Penulis: Bakti Berlyanto Sedayu - LRMPHP


Deep Neural Networks Untuk Analisis Video Pengawasan Perikanan Dan Otomatisasi Monitoring Kasus Pembuangan Ikan Di Tengah Laut

Proses segmentasi citra dari kapal riset, citra ikan dengan outline biru muncul secara otomatis pada sistem yang dikembangkan dalam riset. Sumber gambar: French et al (2020)

Upaya pemantauan dan penghitungan jumlah tangkapan ikan yang dibuang selama operasi kapal penangkap ikan dengan jaring trawl terus dikaji memanfaatkan  sistem visi komputer berbasis analisis video dari kamera CCTV yang terpasang pada sejumlah kapal trawl. Sekelompok peneliti dari University of East Anglia, Norwich Research Park, Norwich, berupaya mengembangkan sebuah sistem monitoring pembuangan hasil tangkapan kapal trawl yang diaplikasikan  secara real time saat kapal-kapal tersebut beroperasi.  Sistem yang dikembangkan diharapkan mampu mengatasi kelangkaan jumlah dan biaya pengamat untuk melakukan sampling dan mengestimasi jumlah ikan tangkapan yang dibuang. Selain itu keberaadaan undang-undang di Uni Eropa secara tegas mengatur kuota tangkapan individual dari kapal trawler mendorong pengembangan pengukuran presisi berdasarkan total berat ikan yang didaratkan di pelabuhan pendaratan ikan.  

Eksperimen yang dilakukan untuk menggunakan computer vision dalam menghitung ikan tak terpakai dalam penangkapan tersebut telah dipublikasikan oleh French et al  dalam Jurnal  ICES Journal of Marine Science (2020), 77(4), 1340–1353. doi:10.1093/icesjms/fsz149. Metode yang dikembangkan mencakup data latih yang terdiri dari sejumlah citra hasil ekstrasi rekaman video dilengkapi  dengan proses anotasi ground truth secara presisi. Rekaman video berasal dari 5 kamera yang ditempatkan pada 5 kapal trawl komersial dengan resolusi 800 piksel High Definiton  yang disimpan dalam format MPEG-4. Penempatan kamera pada kapal trawl commersial memiliki sejumlah tantangan teknis karena adanya noise selama perekaman mencakup operator yang bekerja di sekitar konveyor berjalan dan percikan air di seputar pelindung kamera. 

Secara umum proses sampling ikan secara otomatis meliputi: (1) Deteksi ikan; (2) Klasifikasi spesies ikan; (3) Pengukuran biomassa ikan menggunakan metode regresi hubungan antara panjang dan biomassa ikan. Tantangan utama yang dijumpai  selama pengembangan sistem meliputi pendugaan panjang ikan, penjejakan ikan antar frame video, dan pengenalan ulang spesies ketika ikan lepas dari tampilan akibat suatu objek penghalang. 

Proses pengembangan sistem meliputi akuisisi data dan set data, segmentasi, identifikasi spesies, dan evaluasi performa. Pada tahap akuisisi data dan set data dikembangkan proses untuk mengekstrak citra penting dari video rekaman CCTV yang dapat dianotasi (oberian label) sehingga memungkinkan untuk melatih dan mengevaluasi komponen pembelajaran mesin dari sistem yang dikembangkan. Untuk tahap segmentasi citra dikembangkan sejumlah metode, antara lain segmentasi semantik untuk mengenali region dari suatu citra yang memiliki gambar ikan didalamnya dilanjutkan dengan pemisahan citra ikan menggunakan deteksi tepi. Teknik segmentasi ini sangat efektif untuk rekaman video resolusi VGA namun kurang berhasil untuk video beresolusi HD. Algoritma yang efektif untuk video resolusi HD adalah Mask RCNN. Pada tahap identifikasi spesies dikembangkan menggunakan citra yang disegmentasi mask RCNN dengan sebuah pengklasifikasi multi kelas. Evaluasi  performa dilakukan menggunakan Conffusion Matrix, hasilnya menunjukkan tingkat akurasi tertinggi 93,4% untuk spesies ikan Plaice (Pleuronectes platessa),dan akurasi terendah sebesar 18,4% untuk spesies Common Dab (Hippoglosoides sp.). 


Penulis : I Made Susi Erawan - LRMPHP


Minggu, 26 Desember 2021

Penerapan Supercooling untuk Penyimpanan Ikan Segar

Pembekuan adalah teknologi paling popular yang digunakan untuk mengawetkan ikan. Dalam proses pembekuan, suhu ikan diturunkan hingga jauh dibawah titik bekunya sehingga ikan bisa awet hingga berbulan-bulan. Namun, teknologi pembekuan bukan tanpa kekurangan. Adanya pembentukan Kristal es dalam jaringan daging menyebabkan drip loss saat thawing yang menyebabkan nutrisi dan rasa ikan beku menurun. Selain itu, dibandingkan pendinginan, pembekuan membutuhkan lebih banyak energi yang digunakan untuk membuang panas latent dari ikan.

Supercooling merupakan salah satu pendekatan untuk mengatasi hal tersebut. Supercooling adalah proses penurunan suhu suatu bahan pangan di bawah titik bekunya tanpa ada pembentukan Kristal es, seperti yang dikemukana oleh Stonehouse & Evans tahun 2014 di Journal of Food Engineering dengan judul the use of supercooling for fresh foods: A review. Secara umum proses pembekuan dibagi menjadi 3 fase (Gambar 1); pertama precooling yaitu penurunan suhu hingga mendekati titik beku (idealnya 0 oC) dan cairan dalam produk tetap berbentuk liquid dengan tingkat pendinginan tertentu dan begitu nukleasi es terjadi, kristal es mulai terbentuk. Kedua fase transisi yaitu fase dimana panas latent produk dibuang dan suhu masih pada titik beku hingga semua cairan dalam produk menjadi es. Terakhir solidifikasi yaitu saat semua cairan berubah menjadi padat (es) dan suhu turun dengan cepat karena  terjadi pembuangan panas sensible. Derajat / tingkat supercooling sendiri adalah perbedaan suhu nukleasi es dengan suhu kesetimbangan titik beku.

Gambar 1. Profil umum suhu-waktu pembekuan air dan proses supercooling (Sumber : Kang dkk, Food Sci Biotechnol.2020; 29(3):303–321)

Untuk mendapatkan supercooling adalah dengan menjaga agar tidak terjadi nukleasi es, dan tidak masuk ke fase transisi terlebih solidifikasi. Novel dan inovasi teknologi untuk mengontrol fase tersebut telah secara luas diteliti diantaranya aplikasi tekanan tinggi, ultrasound irradiation, dan electromagnetic field (EMF) dalam proses pembekuan.

Berdasarkan uraian diatas supercooling bisa diterapkan untuk memperpanjang masa simpan produk perikanan, serta menghindarkan pembentukan Kristal es sehingga ikan yang disimpan tidak mengalami kerusakan fisik. Selain itu, supercooling berpotensi menjadi teknologi hemat energi karena energi yang dibutuhkan untuk proses pembuangan panas laten dan sensible tidak lagi diperlukan. Supercooling juga akan memudahkan proses lanjutan pengolahan ikan karena tidak dibutuhkan proses thawing.    


Penulis : Arif Rahman Hakim - LRMPHP 

 

 

 

 

 

 


Jumat, 24 Desember 2021

Kamera Cerdas untuk Inspeksi dan Grading Mutu Produk Perikanan

Perangkat kamera cerdas yang dikembangkan dalam riset (Sumber : Guo et al 2020)

Meningkatnya konsumsi produk pangan serta tuntutan akan mutu dan keamanan produk tersebut membuat sejumlah fasilitas pengolahan pangan di Ameriaka Serikat menggunakan mesin pembersih, inspeksi dan grading, pengemasan, penyimpanan dan pengiriman untuk membantu proses produksi. Salah satu teknologi inspekdi dan grading yang telah dikembangkan pada akhir tahun 1980 an adalah mesin visi. Namun perkembangan mesin visi masih menyisakan sejumlah tantangan untuk aplikasi di industri kecil dan menengah yaitu kebutuhan biaya pembuatan sistem dan pengoperasiannya, perlu pekerja dengan skill tunggi untuk mengatur konfigurasi dan mengoperasikan sistem, dan masih dijumpainya hasil yang tidak sesuasi harapan pada sejumlah kasus pengaplikasian mesin visi. 

Penelitian terkait sistem tersisip dengan kemampuan pembelajaran telah dikembangkan oleh Guo et al dari Nanfang College of Sun Yat-sen University dan dipublikasikan pada Jurnal Electronics tahun 2020 dengan doi:10.3390/electronics9030505, untuk mengatasi sejumlah permasalahan tersebut. Sistem ini telah diujicobakan untuk dua produk pangan yaitu untuk deteksi tingkat delaminasi kulit pada Kurma varietas Medjool sebagai contoh inspeksi grading permukaan. Untuk produk perikanan sistem ini diujicoba untuk inspeksi bentuk kerang sebagai contoh untuk aplikasi evaluasi mutu berbasis bentuk. Tulisan ini berfokus pada pengembangan dan aplikasi sistem pada evaluasi bentuk kerang. Berbeda dengan produk buatan manusia dengan bentuk teratur dan sederhana, kerang sebagai salah satu produk organik yang tumbuh alami dengan bentuk tubuh atau lengkungan permukaan tak teratur dan tak konsisten. Secara umum meskipun kerang hidup dan tumbuh di lingkungan dan perairan yang sama belum tentu memiliki bentuk dan ukuran yang identik. Pada penelitian in digunakan inspeksi grading kerang dalam 3 kategori. Algoritma inspeksi visual yang dkembangkan para peneliti berdasarkan metode Fitur yang dikonstruksi secara evolusuiner (ECO-Feature). 

Pada Algoritma ECO Feature tahap pertama adalah transformasi citra yang melibatkan 6 algoritma transformasi citra yaitu Gabor, Gausian, Laplacian, Median Blur, Sobel, dan Gradient yang masing-masing berbasis panjang Gelombang dan orientasi (Gabor), ukuran kernel (Gaussian, Laplacian, Median Blur, dan Gradient),  Sobel (kedalaman, ukuran kernel, susunan x dan susunan y). Seluruh citra hasil transformasi akan digunakan pada proses ekstraksi fitur dan dapat mempercepat proses pembelajaran secara evolusioner. 

Pembelajaran Evolusioner

Fitur untuk klasifikasi tersusun atas sejumlah citra hasil 6 transformasi dasar. Transformasi ini bekerja secara berurutan. Jumlah, tipe, dan susunan transformasi serta parameter yang terkait ditentukan melalui pembelajaran evolusionr. Karena hasil transformasi maka pada fitur yang terkontruksi akan sangat mungkin terjadi proses transformasi lebih dari 1 kali namun dengan parameter berbeda. Dari hasil kajian menunjukkan bahwa 2 hingga 8 transformasi tiap fitur untuk mencapai akurasi tinggi dan komputasi yang efisien. Proses evaluasi dimulai dengan membuat fenotop dari fitur. Seumlah bagian populasi terpilih akan diseleksi melalaui metode turnamen seleksi untuk menhasilkan generasi. Pasangan fitur induk akan. Proses crossover dan mutasi akan belangsung selama 10 hingga 15 generasi sampai tercapai hasil grading terbaik berdasarkan skor fitness (kesesuaian) tertinggi atau stabil selama beberapa iterasi. 

Evaluasi Fitur

Dipilih secara acak untuk menghasilkan fitur baru mlalui crossover dan mutasi. Crossover dilakukan dengan mengambil sejumlah bagian hasil transformasi dari fitru induk lalu digabungkan dengan hasil transformasi pada bagian hasil transformasi dari fitur induk lain yang berkesesuain. Sementara mutasi dilakukan dengan mengmabil sejumlah fitur dari fitru induk untuk diperbaiki atau diganti pada fitur induk yang lain. Fitur anakan yang dihasilkan akan membentuk generasi fitur baru yang menyerupai fitur induk. 

Pengujian sistem pada sampel kerang menunjukkan sejumlah keunggulan dibanding dengan operasi manual yaitu akurasi mencapai 98,6% serta mampu mengatasi masalah inspeksi akibat kelelahan dan berbagai gangguan lainnya. 


Penulis : I Made Susi Erawan - LRMPHP


Kamis, 23 Desember 2021

LRMPHP Kembangkan Mesin Penggiling Bertingkat untuk Pembuatan Tepung Ikan

Tepung ikan memiliki potensi pasar yang cukup luas di Indonesia dengan permintaan mencapai 0,25 - 0,75 juta ton per tahunnya. Tetapi menurut Anam & Indarto (2018) yang dimuat dalam Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat menyampaikan bahwa sekitar 70% kebutuhan tersebut dipenuhi dari impor, yang artinya hanya sekitar 30% dipenuhi dari dalam negeri. Kondisi tersebut salah satunya disebabkan karena kurangnya volume produksi tepung ikan lokal dan juga kualitasnya masih rendah. 

Telah banyak dilakukan usaha untuk meningkatkan produksi tepung ikan lokal supaya dapat mengurangi ketergantungan dari impor. Salah satu usaha yang dilakukan adalah memanfaatkan ikan dari hasil tangkap samping yang tidak memilki nilai ekonomis tinggi dan belum termanfaatkan. Selain itu, pengembangan peralatan produksi yang memadai perlu dilakukan sehingga dapat meningkatkan volume dan kualitas tepung ikan lokal. Pengolah tepung ikan lokal sebagian besar masih menggunakan peralatan yang sederhana dan tradisional. Selain itu proses yang dilakukan juga bervariasi. Seperti disampaikan oleh Erlania (2012) dalam Media Akuakultur, bahwa proses pembuatan tepung ikan di kota Tegal, proses pemasakan bahan baku masih dilakukan dalam wadah perebusan diatas tungku dengan bahan bakar kayu bakar. Kemudian setelah selesai direbus dilakukan penjemuran dibawah sinar matahari. Setelah kering maka dilakukan penggilingan untuk membuat menjadi butiran halus yang siap dipasarkan.

Proses penggilingan merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan tepung ikan. Penggilingan yang dilakukan oleh pengolah lokal biasanya menggunakan alat penggiling daging yang beredar di pasaran. Sebelum dilakukan proses penggilingan, bahan baku dipanaskan melalui proses perebusan atau pemasakan. Kendala yang sering dihadapi biasanya adalah kapasitas wadah / drum perebusan bahan baku yang terbatas, dan sering terjadi macet saat proses penggilingan.

Pada peralatan pengolah tepung ikan hasil rancangbangun Loka Riset Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan (LRMPHP) seperti disajikan pada gambar 1,  proses pemasakan dan penggilingan dilakukan dalam satu alat yaitu menggunakan alat penggiling tepung ikan sistem bertingkat. Fungsi kerja alat ini adalah menggabungkan proses pemasakan dan penggilingan dalam satu alat. Alat terdiri dari dua ekstruder, ekstruder pertama untuk pemasakan, dan ekstruder kedua untuk penggilingan. Pada tahap pertama dilakukan pemanasan bahan baku di dalam ekstruder pertama. Sumber panas diperoleh dari uap boiler yang disalurkan ke barrel ekstruder tersebut. Pada tahap kedua adalah proses penggilingan bahan baku yang masih dalam kondisi panas. Di dalam ekstruder kedua dilengkapi dengan ulir yang berfungsi untuk mendorong ikan ke bagian ujung ekstruder. Bagian ujung ekstruder terdapat pisau yang berfungsi untuk memotong ikan yang akan dikeluarkan dari ekstruder dan die.

Gambar 1. Mesin Penggiling Bertingkat

Hasil uji kinerja alat menunjukkan bahwa nilai rendemen penggilingan sudah cukup baik yaitu diperoleh rendemen optimum 83%. Tetapi nilai kapasitas yang diperoleh masih belum optimal yaitu sebesar 25.68 kg/jam. Kondisi tersebut diduga disebabkan karena terjadi penumpukan bahan pada ujung ekstruder. Penumpukan tersebut disebabkan karena proses pengangkutan tidak seimbang dengan proses penggilingan atau pemotongan di ujung ekstruder. Selain itu diduga juga disebabkan karena proses pemasakan yang kurang optimal dan ketidakseragaman karakteristik bahan baku ikan yang digiling.

Penulis : Wahyu Tri H. - LRMPHP