Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan implementasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pascaproduksi di bidang perikanan tangkap sesuai dengan prinsip Ekonomi Biru, untuk menjamin keberlanjutan ekosistem laut, kehidupan sosial masyarakat, dan kesinambungan usaha.
"Yang kita (ingin) optimalkan (dari aturan ini) agar sumber daya ikan berkelanjutan. Karena ikan ini kan bukan benda mati ya, dan kalau tidak dikelola sebaik-baiknya dia akan semakin terbatas. Jadi perizinan atau mekanisme output control ini adalah bagian dari tata kelola perikanan kita, agar sumber daya ikannya berkelanjutan dan pelaku usahanya berkelanjutan sesuai Ekonomi Biru," ujar Direktur Perizinan dan Kenelayanan Ditjen Perikanan Tangkap KKP, Ukon Ahmad Furqon dalam diskusi Bincang Bahari membahas Pengaturan PNBP Pascaproduksi di Media Center KKP, Kamis (19/1/2023).
Perubahan penerimaan negara bidang perikanan tangkap dari yang tadinya pra menjadi pascaproduksi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pada mekanisme sebelumnya PNBP Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dipungut secara praproduksi. Saat Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dikeluarkan, pelaku usaha harus membayar PNBP PHP sebelum melakukan usaha penangkapan ikan untuk setahun ke depan. Sedangkan mekanisme Pascaproduksi, penarikan PNBP disesuaikan dengan volume ikan yang didaratkan dan pengurusan SIPI tidak lagi dikenakan biaya. Dengan demikian penarikan PNBP lebih berkeadilan karena sesuai tangkapan riil. Di samping itu pendataanpun menjadi semakin akurat.
Sejalan dengan penerapan mekanisme Pascaproduksi, Ukon menerangkan KKP memperkuat infrastruktur pelaporan menggunakan teknologi informasi, di mana pelaku usaha dapat mengisi secara mandiri data hasil penangkapan ikan pada aplikasi e-PIT yang dapat diunduh secara gratis. Sejauh ini sudah banyak pelaku usaha perikanan yang mengunduh aplikasi tersebut.
"Jadi karena yang menghitung ini pelaku usaha sendiri, kita sangat berharap dapat melaporkan sesuai dengan hasil tangkapannya karena walaupun yang menghitung pelaku usaha, pemerintah tetap berkewajiban melakukan verifikasi dan apabila dipastikan ada kekurangan bayar, otomatis pelaku usaha berkewajiban untuk membayar sisanya," ungkap Ukon.
Mengenai permintaan nelayan agar KKP menurunkan tarif indeks PNBP dari 10 persen untuk kapal berukuran di atas 60 GT, Ukon mengaku sudah disiapkan jalan keluar dengan menyesuaikan Harga Acuan Ikan (HAI) yang menjadi variabel lainnya dalam penghitungan PNBP pascaproduksi, dengan mempertimbangkan biaya operasional atau harga pokok produksi. Solusi ini diterima dengan baik para pelaku usaha sembari menunggu revisi indeks tarif dalam PP 85/2021.
"Kapal di atas 60 GT mendapat masukan dari nelayan karena dianggap cukup besar indeks tarifnya. Ini yang kita serap. Pak Menteri juga sudah menerima langsung teman-teman nelayan belum lama ini. Saat ini proses sedang berjalan, dan kami sudah diskusi dengan teman-teman di Kemenkeu dan mereka mendukung. Kami tetep diskusi bagaimana ini cepat selesai sesuai harapan," ungkapnya.
Ketua Front Nelayan Bersatu Indramayu Kajidin mengaku tak mempersoalkan penerapan mekanisme PNPB Pascaproduksi, hanya saja dia meminta pemerintah meninjau ulang besaran indeks 10 persen untuk kapal di atas 60 GT. Dia juga meminta masa transisi mekanisme dari pra ke pascaproduksi bisa dipercepat.
Kajidin berharap KKP turut menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat nelayan karena mekanisme PNBP yang baru menggunakan teknologi aplikasi untuk menginput data hasil tangkapan.
"Yang paling penting adalah bagaimana pra itu diterapkan tapi tidak membuat nelayan kita kesulitan. Karena masih banyak nakhoda kita yang masih belum paham aplikasi. Khawatirnya kalau salah input kalau tidak sesuai dengan fakta yang ada, bisa jadi kesalahan bagi kita. Itu yang saya khawatirkan," paparnya.
Senada disampaikan Riswanto, Koordinator Front Nelayan Bersatu Kota Tegal dan Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah. Pihaknya meminta indeks tarif PNBP tidak berpatokan pada penghasilan kotor selama melaut.
Dia juga mengapresiasi langkah KKP yang menampung aspirasi nelayan dengan memberikan ruang diskusi terkait besaran indeks yang diharapkan.
"(Belum lama) ini kami berkesempatan diskusi dengan Pak Menteri, dan Pak Menteri memberikan ruang untuk diskusi terkait mekanisme PNBP seperti apa. Ini satu moment yang sangat baik untuk pelaku usaha perikanan. Namun kami akan selalu mengawal, apabila nanti ketika penerbitan Kepmen Harga Acuan Ikan," akunya.
Pakar Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, Teknologi Kelautan dan Analisis Sistem Perikanan Sugeng Hari Wisudo menerangkan, pengelolaan perikanan secara berkelanjutan memiliki tiga unsur yang saling terkait meliputi keberlanjutan ekologi, ekonomi, dan sosial. Dan penerapan PNBP Pascaproduksi sesuai mekanisme output control diakuinya termasuk dalam tata kelola perikanan tangkap meski implementasinya masih baru di Indonesia.
"Peraturan bukan untuk kepentingan pemerintah saja, pelaku usaha, konservasi atau masyarakat kecil saja, tapi memadukan semuanya agar berjalan sinergi dan terus menurus. Disinilah pentingnya keterbukaan. Saya melihat KKP sudah membuka dan nelayan sudah berdialog dan ini terus dilakukan, sehingga nanti bertemu di titik optimum untuk semua. Dengan adanya kebijakan berkelanjutan ini diharapkan kita mencapai perikanan tangkap yang unggul dan berkelanjutan sehingga mampu menghapus kemiskinan, mengakhiri kelaparan, hingga menjaga kelanjutan ekosistem laut," pungkasnya.
Sumber : kkp